Pemerintah Pastikan Keberlanjutan Industri Kelapa Sawit

 Pemerintah Pastikan Keberlanjutan Industri Kelapa Sawit

JAKARTA – Meskipun banyak tantangan terutama dari sisi eksternal, Pemerintah memastikan keberlanjutan industri sawit di Indonesia.

Untuk itu, sejumlah langkah telah dan akan terus dilakukan, untuk mempertahankan komoditas yang memiliki peran penting bagi perekonomian tanah air ini.

“Sektor kelapa sawit telah terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam Seminar bertajuk Menciptakan Industri Sawit yang Berkelanjutan, di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu (31/7/2019) siang.

Dikutip dari setkab.go.id, berdasarkan data yang diperolehnya, Menko Perekonomian mencatat total nilai ekspor produk sawit pada 2018 sebesar 17,89 miliar dollar AS, dan berkontribusi hingga 3,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto.

Dalam sektor ketahanan energi, penerapan kebijakan mandatori biodiesel dalam kurun waktu Agustus 2015 hingga 30 Juni 2018 mencatatkan penghematan devisa sebesar 2,52 miliar dollar AS, atau setara Rp30 triliun.

Sementara sebagai industri padat karya, jutaan masyarakat pun bergantung pada sektor kelapa sawit. Industri perkebunan sawit mampu menyerap hingga 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 14,3 juta tenaga kerja tidak langsung, Sementara kebun sawit yang dikelola petani swadaya mampu menyerap 4,6 juta orang.

Selain itu, sejak tahun 2000 sektor kelapa sawit Indonesia membantu 10 juta orang keluar dari garis kemiskinan karena faktor-faktor yang terkait dengan ekspansi kelapa sawit. Setidaknya 1,3 juta orang yang hidup di pedesaan keluar dari garis kemiskinan secara langsung berkat kelapa sawit.

“Daerah-daerah yang dominan kelapa sawitnya memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibanding daerah lain. Konteks ini menunjukkan bahwa industri kelapa sawit berkontribusi terhadap pencapaian SDGs (Sustainable Development Goals) 2030. Artinya, kita sejalan dengan dengan program PBB untuk menyejahterakan masyarakat,” papar Darmin.

Lanjutnya, sedangkan dari sisi produktivitas, kelapa sawit mampu memproduksi 6-10 kali dibandingkan minyak nabati lainnya. Sebagai perbandingan, Soybean memiliki produktivitas 0,4 ton/ha, Sunflower 0,6 ton/ha, Rapseed Oil 0,7 ton/ha, sementara Kelapa Sawit 4 ton/ha.

Menko Perekonomian menganggap kelapa sawit memiliki keunggulan, mengingat sebagian besar dikelola perusahaan besar, maka perkebunan sawit didukung sektor Research and Development (R&D) yang memadai.

“Ini bukan mengenai baik dan benar. Ini masalah keunikan bahwa R&D itu tidak berjalan di komoditas lain seperti karet dan kelapa yang didominasi oleh perkebunan rakyat,” ungkap Darmin.

Dikatakannya, Devisa yang kita peroleh dari ekspor kelapa sawit dan turunannya pun sudah ada pada angka 20 miliar dollar AS. “Jadi itulah situasinya. Kelapa sawit ini bukan main-main,” ujarnya.

Menko Perekonomian juga menjelaskan, Indonesia telah menerapkan Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) sejak tahun 2011. ISPO dirancang untuk memastikan bahwa kelapa sawit Indonesia dikelola dengan Good Agricultural Practices/GAP sesuai dengan prinsip sosial, ekonomi, dan lingkungan yang berkelanjutan.

“Saat ini kita sedang melakukan proses penguatan ISPO dengan menyiapkan Perpres baru. ISPO yang lama kurang tegas memberikan dukungan ke perkebunan kecil,” jelasnya.

Rancangan Perpres Penguatan ISPO tersebut saat ini sedang dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM untuk kemudian diusulkan pengesahannya ke Presiden.

“Dengan adanya aturan baru ini, perkebunan kecil bisa benar-benar memenuhi standar keberlanjutan,” kata Darmin.

Lanjutnya, pemerintah juga sedang memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit melalui Instruksi Presiden (Inpres) 8 Tahun 2018 terkait moratorium, evaluasi perizinan kebun sawitdan penundaan pemberian izin baru.

Pemerintah pun telah menggulirkan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit khususnya bagi pekebun swadaya.

“Satu hal yang menjadi perhatian adalah pemanfaatan limbah batang sawit hasil peremajaan. Ini bisa menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan produk kayu nasional dan internasional. Ini juga merupakan upaya strategis untuk mengurangi emisi dan meningkatkan serapan karbon,” ujar Darmin.

Ia menyadari bahwa akurasi data berguna untuk mengoptimalkan potensi sawit dan melawan seluruh upaya diskriminasi pihak luar.

Mengenai tantangan yang dihadapi Indonesia, salah satunya keputusan Komisi Eropa mengeluarkan regulasi turunan (Delegated Act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II), yang  mengklasifikasikan kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi ILUC (Indirect Land Use Change), disamping tantangan lpengenaan bea masuk anti subsidi terhadap biodiesel berbasis kelapa sawit ke Eropa.

Menko Perekonomian mengajak semua pihak bersinergi. “Pemerintah bersama seluruh pemangku kepentingan tengah mematangkan strategi dan langkah diplomasi yang terintegrasi,” pungkas Darmin.

Sebelumnya Ketua Umum KADIN Indonesia Roslan Roeslani dan Direktur Tempo.co Tommy Arianto menyatakan,  acara ini diinisiasi karena menyadari kelapa sawit sangat strategis untuk kepentingan nasional. Untuk itu, butuh terobosan dan kontribusi pemikiran kepada pemerintah agar industri sawit tetap tumbuh dan berkelanjutan. (hms)

 

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar