Memupuk Asa Pesantren Anti Bullying

 Memupuk Asa Pesantren Anti Bullying

JAKARTA – Pendidikan Pesantren adalah pendidikan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren dan berada di lingkungan pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai kekhasannya dengan berbasis kitab kuning atau dirasah islamiah dengan pola pendidikan muallimin. Pendidikan Pesantren diatur dengan Permenag 31 tahun 2020 tentang Pendirian dan Penyelenggaraan Pesantren.

Saat ini stakeholder pondok pesantren terus berupaya meminimalisasi potensi terjadinya kekerasan di lingkungan pesantren. Regulasi atau aturan terkait pencegahan tindak kekerasan pada pendidikan agama dan keagamaan, termasuk pesantren segera disahkan, sebagaimana dikatakan Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kemenag, Waryono Abdul Ghofur beberapa waktu lalu

Dan beberapa waktu lalu juga, bertempat di Masjid Sunan Kalijogo, Jombang, Jawa Timur berlangsung dialogis oleh para peserta yang merupakan jejaring yang peduli pada pendidikan yang ramah anak, yakni menuju Pesantren ramah anak dan anti bullying dengam pembicara utama Dra.Hj.Umdatul Qoirot (Bu Nyai), pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren As Saidiyyah 2, Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang Jawa Timur serta Mohamad Aan Anshori (Gus Aan) yang dikenal sebagai aktivis dan pemerhati pendidikan

Nyai Umda berkisah, dulu bersama Sang Suami, KH.Ach.Hasan.Mpdi (Abah Kiai) mendirikan dan membangun pondok Pesantren As Sa’idiyyah 2 pada 2004, di bawah Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Komitmennya, secara langsung mendidik, melayani dan mengayomi para santri mulai dari bangun tidur, sekolah, belajar, ibadah dan lain-lain kepada para santri yang diamanatkan.

“Kami ingin memberikan perhatian yang semestinya. Membagikan kasih sayang kepada setiap anak santri sebagai calon ulama. Ini adalah sebuah kenikmatan yang luar biasa, meski berat menjalankannya,” jelas Bu Nyai Umda.

Dan realitasnya memang tidak mudah mendisiplinkan anak-anak di pondok pesantren. Terutama kala mereka masih mengantuk akibat begadang atau tidur malam. Meski begitu, pendisiplinan terus diupayakan dengan maksimal.

“Kami menanamkan tradisi kedispinan. Disisi lain kami juga berupaya menihilkan kebiasaan, tradisi atau budaya di pesantren yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, semisal meminjam barang milik orang lain tanpa izin, mengganggu kesenangan atau ketenangan orang lain. Bahkan menyakiti baik secara verbal atau fisik dengan alasan sekedar bercanda atau melatih mental adik kelas, “urai Nyai Umda.

Menurutnya, Pondok seharusnya membuat atau dapat membuka mindset anak-anak bahwa haram melakukan kekerasan atau pembulian dengan segala bentuk perilaku yang tidak menyenangkan bagi diri sendiri maupun orang lain.

“Anak-anak jarus mafhum bahwa betapa tidak nyamannya orang di-bully. Betapa tidak nyamannya orang disakiti, betapa menderitanya orang diperlakukan secara keras baik secara fisik verbal, mental maupun kekerasan-kerasan yang lain dalam bentuk apapun yang semuanya itu adalah melanggar hukum,” tandas Bu Nyai.

Tetapi menurutnya, hal itu dilakukan bisa jadi karena mereka belum mengerti bahwa apa yang dilakukan itu sebetulnya adalah melanggar hukum. Baik itu hukum agama maupun negara. Jadi seringkali santri itu menganggap sebuah perilaku yang yang bahaya itu dianggap hal yang biasa saja.

“Kami sebagai pengasuh sungguh prihatin, prihatin sekali dan kadang-kadang merasa takut kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Kenapa, karena anak-anak itu ibarat orang baru belajar berjalan. Belum tahu pasti mana yang boleh ditempuh dan mana yang tidak. Dan itu seringkali terjadi. Karena kami lahir di pesantren, sejak kecil dan besar di pesantren jadi sudah khatam dengan pola tingkahnya para santri,” tandas pemerhati pendidikan anak ini penuh keseriusan.

Di pondok, lanjut Nyai Umda, santri yang laki-laki selalu berupaya menunjukkan ke lelakiannya itu dengan kekuatan-kekuatan yang bersifat fisik. Mereka bangga apabila bisa menunjukkan kekuatannya dan mengalahkan temannya yang lain.

“Sebagai pendidik kami prihatin yang amat sangat karena hal itu dianggap sebagai sebuah budaya. Perasaan  dan nurani saya berontak ketika itu dianggap  biasa saja. Saya secara langsung bahkan hampir setiap hari menjumpai kenakalan-kenakalan perilaku anak-anak yang tidak baik  bahkan melanggar syariat dengan cara menyakiti temannya, membully temannya baik secara fisik maupun secara verbal maupun dengan cara-cara yang lainnya tidak menyenangkan,” kata Nyai Umda masygul.

Meski begitu, dari tahun ke tahun  pembinaan dilakukan terus-menerus setiap hari  tapi rasanya belum mempan. Kekerasan dan bullying itu sesekali masih ada. Karena itu As Sa’idiyyah 2 bersikeukeuh menjadikan pesantrennya sebagai pesantren ramah anak dan penuh kasih sayang.

Bu Nyai Umda menegaskan, yang pertama ditekankan pada pembenahan lingkungan  yang harus memberikan rasa aman dan nyaman pada para santri. Dimulai dengan memperbaiki kondisi asrama baik dari segi infrastruktur maupun pelayanan pendidikan dan lain-lain

Sejak 2017 pengasuh pondok sudah menabalkan As Sai’diyyah sebagai pesantren ramah anak anti bullying dengan semaksimal mungkin menjadi contoh sebagai pesantren ramah anak anti bullying disekitarannya.

Di pondok ini, untuk kenyamanan santri, dibuat kamar yang yang layak huni dengan fasilitas yang baik dan terukur. Tapi baru pada 2019 pengelola pondok bisa menyajikan fasilitas tempat tidur ranjang susun. Santri bisa belajar berbagi dengan yang lainnya  namun tetap memiliki ruang privasi. Bukan memanjakannya, tapi ingin menunjukkan kesungguhan pondok
dalam melayani para santri.

Selain itu, para santi diberikan free laundry. Dan untuk lebih menekankan disiplin dan keamann, ada petugas malam (satpam) yang mengontrol agar  santri masuk kamar tidur pada jadwal yang telah ditentukan masing-masing, yakni pukul 11.00 malam. Gunanya supaya anak-anak itu bisa bangun tepat waktu. Tidak terlambat Shalat Subuh dan sekolah serta semua kewajiban bisa dilaksanakan dengam baik.

Peningkatan pelayanan juga ditujukan pafa perencanaan menu makanan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup. Para pengurus membuat menu makan yang layak kepada anak-anak. Makan tiga kali sehari dengan menu yang cukup lezat, segar hingga membuat anak-anak bergizi.

Pada sisi lain, Mohamad Aan Anshori (Gus Aan) menambahkan kalau pada dasarnya pengelola pondok pesantren dan pemerhati pendidikan sejatinya sering melakulan pertemuan dengan para santri senior untuk mewujudkan pesantren ramah anak (anti bullying). Mereka mendiskusikan dan menceritakan  pengalamannya seputar perisakan. Baik sebagai Korban maupun sebagai pelaku.

Mereka sadar begitu dahsyat dampak pembully-an terhadap psikologi korban. Itu sebabnya mereka tidak ingin hal itu diteruskan atau dialami adik-adik kelas mereka.

“Kami bersepakat untuk mematahkan pewarisan tradisi jelek, yakni pembullyan di lingkungan pesantren kami. Salah satunya dengan menjadikan setiap santri/wati senior sebagai teladan. Setiap orang di pesantren berkomitmen akan mentradisikan 3 kata dalam aktifitas keseharian. Yakni, maaf, terima kasih dan tolong,” tandas Aan Ansori yang dikenal sebagai aktivis pendidikan.

Gus Aan menambahkan, hingga kini mereka terus berusaha merumuskan aturan pesantren yang lebih ramah terhadap anak.” Butuh waktu dan kesabaran. Tapi kami haqul yaqin hal ini bisa kita capai dengan baik, bila semua saling peduli dan membantu mewujudkannya,” pungkas Gusdurian ini.

Ismail

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar