Gelar Orientasi Wartawan, PWI Jaya Bertekad Hasilkan Wartawan Bermartabat dan Integritas

 Gelar Orientasi Wartawan, PWI Jaya Bertekad Hasilkan Wartawan Bermartabat dan Integritas

JAKARTA  –  Persatuan Wartawan Indonesia Provinsi DKI Jakarta (PWI Jaya), untuk kedua kalinya kembali menggelar orientasi wartawan yang berlangsung di Sekretariat PWI Jaya, Gedung Prasada Sasana Karya, Lantai 9, Jakarta Pusat, Senin (5/8/2019).

Orientasi Wartawan Angkatan ke-2 tahun 2019 merupakan kegiatan  tahun pertama periode kepengurusan PWI Jaya 2019-2024 pimpinan Sayid Iskandarsyah, kegiatan tersebut diikuti sebanyak 40 peserta.

Kegiatan tersebut dibuka Ketua PWI DKI Jakarta, Sayid Iskandarsyah, yang juga menghadirkan pemateri yakni, Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat, yang juga Mantan Ketua PWI Jaya, Kamsul Hasan, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Firdaus Baderi, dan Direktur SJI PWI Jaya Rommy Syahril.

 

Ketua PWI Jaya, Sayid Iskandarsyah menyambut gembira antusiasme peserta pada angkatan ke-2 ini. Dia berharap peserta orientasi ini dapat menjadi bagian dari anggota PWI Jaya.

“Saya cukup gembira, angkatan ke-2 ini pesertanya cukup banyak. Angkatan ke-1 keberhasilannya hampir 90%. Mudah-mudahan di angkatan ke-2 bisa mencapai 100%.,”kata Sayid.

Dikatakannya, dalam penyeleksian calon anggota, PWI mengacu pada standar Dewan Pers, dimana status perusahaan pers, kompetensi, dan profesional dalam hal menulis.

Sementara Sekretaris PWI Jaya, Kesit B. Handoyo dalam mengantar kegiatan orientasi menjelaskan mengenai tujuan diselenggarakan orientasi serta materi yang dibahas.

Lanjutnya, PWI merupakan salah satu konstituen Dewan Pers yang secara legal sudah memenuhi persyaratan yang diterapkan negara.

Saat ini di tengah berkembangnya era digital, dua organisasi media siber yakni Serikat Media Siber Indonesia (SMSI), dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) sedang dalam proses untuk menjadi konstituen Dewan Pers.

Menurut Kesit, jumlah media siber yang ada lebih dari 47 ribu media online. Media-media tersebut bisa disebut sebagai media pers jika telah memenuhi persyaratan yakni berbadan hukum (PT) dimana pasal 3 perusahaan tersebut menjelaskan jenis usahanya sebagai perusahaan pers.

Begitu pula yang disampaikan Firdaus Baderi ketika membawakan materi Peraturan Dasar dan Peraturan Rumah Tangga PWI Jaya menjelaskan, PWI merupakan salah satu konstituen Dewan Pers yang anggotanya telah mencapai 15 ribu orang. Bahkan organisasi ini dan tersebar di seluruh Indonesia. Selain PWI dua konstituen Dewan Pers lainnya adalah AJI dan IJTI.

Sebagai konstituen Dewan Pers, kata Firdaus yang juga Pemimpin Redaksi Harian Ekonomi Neraca, keberadaan PWI diakui oleh negara serta memiliki Peraturan Dasar Peraturan Rumah Tangga PWI & Kode Etik Jurnalistik.

Lanjutnya, wartawan yang menjadi anggota PWI wajib mengikuti orientasi dan juga Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang merupakan amanat Dewan Pers.

UKW pada dasarnya menjadikan wartawan profesional, kompeten, independen, taat kode etik jurnalistik. Ia juga mengharapkan agar wartawan yang tergabung di dalam PWI ini, tetap menjaga martabat  dan integritas.

“Sebagai wartawan, nomor satu harus jaga etika profesi, martabat dam integritas, namun juga harus kerja keras,”ujarnya.

Firdaus juga mengingatkan wartawan dalam menjalankan tugasnya harus patuh pada prinsip ABC (Akurat, Balanced, Clear).

Sesi selanjutnya menghadirkan pemateri Ketua Komisi Kompetensi PWI Pusat, yang membahas soal Hukum Pers, Pedoman Pemberitaan Media Siber, serta Pedoman Pemberitaan Ramah Anak.

Kamsul menjelaskan, setiap negara memiliki politik hukum dan politik hukum Indonesia adalah Pancasila. “Politik hukum setiap negara membedakan dengan negara lainnya,”ujarnya.

Pancasila menjadi pandangan hidup, tujuan berbangsa dan bernegara dan butir-butir Pancasila menjadi pasal-pasal dalam UUD 1945 dan sekaligus dasar hukum perundangan di Indonesia.

Kata Kamsul, untuk pertama kalinya Pasal 28 UUD 1945, dibuat UU No. 11 tahun 1966 tentang Pokok-pokok Pers. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran untuk pertama kalinya diawal Orde Baru dikontrol dengan UU yang mewajibkan adanya Surat Izin Terbit (SIT) atau STT. Kemudian pada UU No. 4 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pers, selain SIT atau STT juga wajib izin cetak dari Kopkamtib. Perubahan terakhir melalui UU No. 21 tahun 1982 tentang Pers. Instrumen kontrol berubah menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Selanjutnya ia menyebutkan, UU Turunan Pasal 28 yang merupakan hasil amandemen tersebut menghasilkan: UU No. 23 tahun 2002 Jo., UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 11 tahun 2008 Jo. UU No. 19 tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi RAS, UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi, dan UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

Kamsul juga menjelaskan mengenai Kode Etika Jurnalistik yang merupakan Peraturan Dewan Pers No. 6/Peraturan-DP/V/2008.

“Wartawan wajib memiliki dan mentaati kode etik jurnalistik  yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers. Dalam menjalankan tugasnya, wartawan bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, dan tidak beritikad buruk,” paparnya.

Ujaran Kebencian

Ketua Kopetensi PWI Pusat menjelaskan, soal  ujaran kebencian dimana Surat Edaran Kapolri, SE 06/X/2015 tertanggal 8 Oktober 2015 merupakan rujukan ujaran kebencian sebagaimana dimaksud pada butir 2F adalah: Bahwa ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain: penghinaan; (delik aduan), pencemaran nama baik; (delik aduan), penistaan; (delik aduan, perbuatan tidak menyenangkan; (delik aduan), memprovokasi; (delik umum), menghasut; (delik umum), penyebaran berita bohong; (pada umumnya delik aduan). Semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.

Ujaran kebencian sebagaimana dimaksud SE Kapolri dapat dilakukan melalui berbagai media dalam orasi kegiatan kampanye; spanduk atau banner; jejaring; media sosial; penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi); ceramah keagamaan; media masa cetak maupun elektronik; pamflet.

Soal hoaks, Kamsul mengatakan mengenai kualifikasi konten hoaks, sanksi dan dasar hukum. Sedangkan soal sengketa pemberitaan, Dewan Pers dan Kapolri pada Hari Pers Nasional (HPN) 2017 di hadapan Presiden RI telah menandatangani MoU yang merupakan perpanjangan dari MoU tahun 2012 yang menyepakati apabila terjadi sengketa pemberitaan penyidikan diawali dengan keterangan ahli dari Dewan Pers.

Pada berbagai kasus sengketa pemberitaan  media sambung Kamsul, pada umumnya yang pertama yang ditanyakan kepada Dewan Pers adalah apakah berita yang disengketanya dipublikasikan oleh media berbadan hukum pers.

“Apaka berita yang disengketakan sudah melalui proses jurnalistik yang profesional seperti memenuhi perintah UU Pers dan KEJ, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), Pedoman Pemberitaan Media Siber (PPMS) serta UU Penyiaran P3 SPS KPI tahun 2012 khusus untuk media penyiaran.

Sesi berikutnya kegiatan ini menghadirkan pemateri Direktur Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI), Romi Syahril. Ia menyampaikan materi “Teknik dan Cara Penulisan Berita”.

Dalam orientasi tersebut, para peserta dibekali dengan teknik dan cara menulis berita jurnalistik yang baik dan benar, cara menyusun laporan atau informasi aktual tentang suatu peristiwa atau masalah untuk dipublikasikan di media massa.

Di akhir sesi ini peserta diminta membuat berita, yang merupakan salah satu kegiatan orientasi, yang akan menjadi salah satu penilaian dalam mengikuti orientasi wartawan PWI Jaya. (*)

 

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar