HPN 2018, PWI, & INDEPENDENSI PERS
Oleh Ilham Bintang
Jakarta- Mimbar.co.id-Peringatan Hari Pers Nasional 5 s/d 9 Februari di Padang, Sumatera Barat, istimewa.
Bukan hanya karena Presiden RI Jokowi dan rombongan akan berada dua hari di Padang untuk mengikuti rangkaian acara HPN 2018 itu.
Dalam agenda panitia, acara pertama yang akan dihadiri Jokowi adalah jamuan makan “Bajamba” dengan seluruh wartawan dan tokoh masyarakat di sana, Kamis (8/2) malam. Bajamba ( Bancakan istilah masyarakat Banten) merupakan jamuan tradisional ala masyarakat Sumatera Barat. Visualnya : makan lesehan bersama dengan hidangan yang disajikan memanjang, dan tamu- tamunya pun berjejer memanjang berhadap-hadapan.
Acara kedua, menghadiri puncak peringatan HPN Jumat (9/2) pagi dan menyampaikan amanat di depan sekitar 1000 tamu undangan wartawan dan pengurus PWI dari seluruh Indonesia. Pada momen itu ada juga tamu undangan para duta besar negara sahabat dan tamu-tamu wartawan asing.
Presiden akan menyaksikan penganugerahan sejumlah penghargaan dari komunitas pers nasional.
Di antaranya, penghargaan khusus untuk tiga tokoh Legenda Pers Nasional berasal dari Tanah Minang.
Yaitu: Alm Djamaludin Adi Negoro alias Datuak Maradjo Sutan, Alm Rosihan Anwar dan Almh Rohana Koedoes.
Penghargaan tertinggi PWI Pena Emas kepada Gubernur Jawa Timur, DR Soekarwo dan Bupati Tabalong, Kalsel, Drs Anang Syakhfiani, M.Si. Penghargaan Pengabdian Seumur Hidup untuk wartawan senior Fikri Jufri, Pengabdian Seumur Hidup Bidang Pers untuk masing-masing untuk Harjoko Trisnadi dan Bernard Soedarmara.
Ada pula penghargaan Kepeloporan Bidang Media, di samping penyerahan Hadiah Adi Negoro kepada karya jurnalistik terbaik yang rutin dipersembahkan setiap tahun.
// Bajamba//
HPN tahun ini istimewa selain karena yang disebut di atas, juga karena di kota Padang inilah empat puluh tahun lalu dicetuskan pertama kali gagasan menjadikan HUT PWI 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Gagasan itu menjadi salah satu keputusan penting Kongres PWI ke 28 di Padang pada tahun 1978.
Gagasan itu kemudian disetujui dalam Sidang Dewan Pers ke 21 di Bandung pada tahun 1981 untuk diajukan ke pemerintah. Empat tahun kemudian terbitlah Keputusan Presiden nomor 5 tertanggal 23 Januari tahun 1985 yang mengabadikan kelahiran PWI sebagai Hari Pers Nasional.
Penetapan pemerintah tentu dimaksudkan untuk menghormati para tokoh pers kala itu yang berhasil menyatukan puluhan organisasi pers ke dalam satu wadah tunggal bernama PWI.
Kongres berlangsung tanggal 9 dan 10 Februari di Solo.
Sidang hari pertama, tepat pukul 11 malam peserta permusyawaratan sepakat membentuk perhimpunan dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia. Hari kedua, terpilihlah RM Soemanang Soeriowinoto sebagai ketua PWI pertama.
Tokoh pers Nasional H. Rosihan Anwar dan Manai Sophiaan yang harus menempuh 35 hari perjalanan naik perahu dari Makassar juga tercatat menjadi peserta dalam peristiwa bersejarah tersebut.
// Talaktiga dengan kekuasaan//
PWI kini sudah menginjak usia 72 tahun. Sebagai organisasi wartawan tertua PWI telah mencicipi pelbagai pengalaman manis dan pahit melebihi organisasi wartawan mana pun di Indonesia. Sejak revolusi kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru hingga era reformasi sekarang. Jatuh bangun kehidupan bangsa bagian yang juga dilalui PWI. Kita tahu di masa Orde Lama yang memanjakan PKI juga mempengaruhi kehidupan PWI. Dalam sejarah kelam itu, PWI bahkan pernah dipimpin oleh Karim DP, gembong PKI. Di era Orde Baru karena terlalu dekat kekuasaan, PWI memang merasakan nikmatnya. Ketua Umum PWI Pusat Harmoko mendapat kursi di kabinet sebagai Menpen yang dijabatnya sampai dua priode setengah, sekitar dua belas tahun. Tapi bayaran hadiah itu juga mahal. Satu priode PWI dipimpin oleh perwira tinggi militer setelah ada operasi menggusur tokoh pers Zulharmans dengan isu tidak bersih lingkungan.
Setelah Orde Baru tumbang, di dalam setting reformasi, PWI sempat dihujani kritik. Disejajarkan dengan Partai Golkar, dan hadapi unjuk rasa menuntut pembubarannya . Sejak itulah wartawan Indonesia memutuskan talaktiga dengan politik praktis. Sikap menjauh dari politik praktis itu dituangkan dalam AD/ART yang berlaku sejak Kongres PWI di Semarang tahun 1998. Pengalaman traumatis masa lampau itu memberi pelajaran berharga. Sebagai organisasi PWI harus independen, tanpa harus mengutuki tokoh-tokoh wartawan yang pernah merapat kepada penguasa. Meminjam ungkapan Winston Churchill, PWI lebib baik menyalakan lilin ketimbang terus menerus mengutuki kegelapan. Ada sepotong kisah kelam PWI ketika menjadi bagian kekuasaan di era Orde Baru yang sempat saya catat.
Tahun 1996 dalam rangka HPN tahun itu saya dan Pak Rosihan Anwar membuat film dokumenter “50 Tahun Emas PWI”.
Stasiun televisi swasta pertama, RCTI memberikan slot untuk menayangkan film tersebut tepat pada HUT ke 50 PWI /HPN 9 Februari yang kebetulan diperingati di Jakarta. Naskah ditulis Pak Rosihan.
Sekitar seminggu saya mengerjakan syuting film, termasuk ke Solo mengambil dokumentasi di Monumen Pers dan mewancarai Pak Surono, peserta Kongres / pemimpin umum Majalah Adil. Wawancara dengan Pak Surono ini memakan waktu lama, karena sudah sepuh memiliki keterbatasan, antara lain kurang pendengaran. Saya dan Pak Ros hampir putus asa.
Sepulang dari Solo, Pak Ros mewawancarai Pak BM Diah dan Pak Manai Sophiaan.
Pada hari penayangan, Pak Ros menelpon saya memastikan penayangan film itu di RCTI pukul 09.00 pagi. Pak Ros perlu memastikan karena ia mau mengabarkan ke Pak Diah dan Pak Manai supaya menonton. ” Jadi tidak ada masalah yah, saya akan info ke semua teman supaya menyaksikan acara ulang tahun emas PWI,” ujarnya. Saya menangkap ada kecemasan di balik pernyataan hendak memastikan dari Pak Ros itu. Maklumlah, ini masih rezim Orde Baru sedangkan Pak Manai Sophiaan masih diblacklist karena anggota “Petisi 50” yang kritis pada pemerintah.
Film memang ditayangkan RCTI. Tapi dada saya berdegup keras. Sampai film itu berakhir, tidak ada wawancara Pak Manai Sophiaan muncul.
Pak Rosihan menelpon. Marah besar. Dia merasa dipermalukan karena satu jam sebelumnya dia sudah meyakinkan Pak Manai yang sebenarnya juga sudah ragu wawancaranya bisa disiarkan.
“Baik, Pak. Segera saya usut,” sahut saya meredam kemarahan Pak Ros.
Setelah itu saya mengontak Chrys Kelana, pemred Seputar Indonesia. Jawabannya sungguh bikin terperangah. Saya kehilangan kata-kata. Pemotongan wawancara Pak Manai, katanya memenuhi permintaan pengurus PWI Pusat melalui nota yang ditandatangani Sofyan Lubis
(Ketua Umum PWI ).Alasannya, ya itu tadi : Manai Sophiaan terlibat Petisi 50.
Bayangkan kejamnya kekuasaan itu. Pendiri PWI dilarang tampil bicara di televisi dalam kaitan sejarah PWI oleh Ketua Umum PWI sendiri.
Maka, tiada kata lain : peristiwa itu tidak boleh terulang lagi, sampai kapan pun dan siapapun yang menakhodai PWI.