Memutus Benang Kusut “Exploitation de homme par i’homm” Menuju Indonesia Negara Kesejahteraan

 Memutus Benang Kusut “Exploitation de homme par i’homm”  Menuju Indonesia Negara Kesejahteraan

 

Penulis : M Nata Adhiyaksya, S.Tr.Sos

Bila saya bernostalgia pada sebuah fase sejarah dimana pendidikan hanya bisa di akses oleh orang-orang elit bangsawan, betapa mengesankannya pendidikan saat itu.

Saya bayangkan ketika melihat kawan bisa duduk di bangku sekolah rasanya menimbulkan kecemburuan intelektual, tentunya ada bisikan untuk ingin bisa sama-sama duduk di bangku sekolah yang penuh dengan rasa riang karna haus akan ilmu pengetahuan.

Adanya kecemburuan ini yang menjadi naluri setiap manusia bahwa di dalam dirinya ada sebuah api semangat untuk mendapatkan hak persamaan dengan sesama manusia lain.

Seperti frasa yang keluar dari revolusi perancis liberte (kebebasan), egalite(keadilan), fraternite (persaudaraan). Ada semangat tentang keadilan yaitu persamaan untuk sama-sama memperoleh hak dan perlakuan yang sama setidaknya itu yang coba dinalurikan ketika bernostalgia kembali pada fase sejarah perjuangan prakemerdekaan Indonesia.

Perserikatan bangsa-bangsa, sebelumnya di awali dengan adanya Liga bangsa-bangsa. Adanya organisasi dunia ini menjadi sampul muka dunia bahwa ada konsep kehidupan bernegara yang baru yang hari ini kita kenal sebagai “globalisasi”, sebuah kehidupan bernegara tanpa tapal batal, bahwa adanya tapal batas negara tak lagi menjadi pembatas untuk melakukan interaksi yang saling menguntungkan antar manusia, walaupun tak sedikit buah dari interaksi ini melahirkan exploitation de i’homme par i’homm, nation par nation, yaitu eksploitasi antar manusia satu dengan manusia lainnya, bangsa satu dan bangsa lainnya yang menimbulkan kemiskinan dan kesengsaraan.

Bila kita tilik umur indonesia hari ini tak lagi muda, di usia yang sudah amat matang layaknya pohon the sisters olive of noah sebuah pohon zaitun yang bisa hidup hingga ratusan bahkan ribuan tahun. Umur indonesia sudahlah siap untuk mengarungi interaksi dunia tanpa tapal batas dengan menghilangkan kemiskinan yang amat besar hari ini.

Seperti nenek moyang kita yang asli sebagai pelaut ulung mengarungi ombak tinggi dengan dua tiga hingga empat kali sepasang dayung.

Angka kemiskinan indonesia cukuplah besar mencapai angka 25,14 juta jiwa (BPS: Maret 2019). Tentu hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi semua elemen masyarakat untuk melunasi janji suci yang sudah di naskahkan pada mukadimah undang-undang dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Bila membayangkan 25,14 juta jiwa penduduk Indonesia yang dikategorikan miskin, maka diperlukan sebuah upaya penanggulangan kemiskinan dengan pemberdayaan sosial.

Jauh bila di bandingkan dengan negara-negara Skandinavia seperti Swiss, Denmark, dan Swedia bahwa besarnya angka harapan hidup di negara ini menjadikannya sebagai miniatur konsep negara kesejahteraan.

Negara Skandinavia pertumbuhan ekonominya rendah, namun gini ratio sangat kecil, oleh karenanya Indonesia harus mampu mengurangi gini ratio yang mencapai angka 0,382 pada Maret 2019.

Tentu lahirnya konsep negara kesejahteraan tidak lain merupakan respon dari buruknya sistim kapitalisme (libertarian) ekonomi yang membuat munculnya kelas sosial.

Di sisi lain, bergeser ke inggris ada revolusi yang di motori oleh teori R. Malthus bahwa kemiskinan lahir karna pertumbuhan penduduk lebih besar di bandingkan dengan jumlah produktivitas pangan.

Sehingga menimbulkan kelaparan yang kemudian bermuara pada kemiskinan. Hal ini di indonesia pada era orde baru direspons dengan kebijakan KB (keluarga berencana) tentu negara punya rasionalisasi tersendiri mengapa membatasi jumlah demografi warga negaranya, padahal banyaknya jumlah penduduk merupakan sebuah anugerah (bonus demografi).

Tentu, problematika kemiskinan ini harus di selesaikan dengan semua elemen dan multidisipliner ilmu dan metode. Bila mempertanyakan hadirnya negara untuk melindungi segenap warga negara adalah konsep negara kesejahteraan (Welfare State), adakah yang bisa memberi jaminan akan terwujudnya kesejahteraan di masyarakat?..

Berlanjut…..

 

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar