Gangguan Mental dan Politik

 Gangguan Mental dan Politik

Penulis : Robby Milana

Pada tahun 2017, media pernah ramai memberitakan kasus Aris Wahyudi. Ramainya pemberitaan disebabkan oleh dua hal; Pertama, karena pria kelahiran Cilacap itu pernah mendeklarasikan sebuah partai politik pada tahun 2017 dengan nama Partai Ponsel. Kedua, bersamaan dengan deklarasi tersebut, Aris juga meluncurkan situs nikahsirri.com, yakni sebuah platform yang memfasilitasi seseorang untuk melakukan nikah siri.

Di dalam situs tersebut secara terbuka Aris menyediakan jasa lelang keperawanan, memfasilitasi orang-orang yang tengah mencari istri, mencari suami, mencari penghulu, hingga mencari saksi untuk siapa pun yang membutuhkan. Situs nikahsirri.com, menurut Aris, merupakan salah satu program kerja dari Partai Ponsel. Melalui nikahsirri.com, Partai Ponsel dapat memberikan sumbangsih konkret dalam meningkatkan kesejahteraan hidup warga yang membutuhkan (jawapos.com, 2017).

Tidak lama kemudian, Aris Wahyudi ditangkap polisi dan ditetapkan sebagai tersangka kasus pornografi. Isteri Aris Wahyudi mengaku kepada wartawan bahwa suaminya tengah mengalami gangguan mental pasca kekalahannya saat mencalonkan diri sebagai Bupati Banyumas tahun 2008 lalu (merdeka.com, 2017). Menanggapi hal itu, Hamdi Muluk, Psikolog Politik Universitas Indonesia, menyatakan bahwa kasus seperti yang dialami oleh Aris Wahyudi merupakan sebuah fenomena gangguan mental yang diidap oleh politikus (rmol.id, 2017).

Gangguan Mental; Sebuah Definisi

Menurut Stuart (2016), gangguan mental adalah gangguan otak yang ditandai oleh terganggunya emosi, proses berpikir, perilaku, dan persepsi.

World Health Organization (WHO, 2018) mendefinisikan gangguan mental (mental disorder) sebagai gangguan yang umumnya dicirikan oleh beberapa faktor, yaitu kombinasi dari gangguan pola pikir, gangguan emosi, gangguan perilaku dan gangguan hubungan dengan orang lain. Contoh gangguan mental antara lain skizofrenia, depresi, bipolar, dementia dan cacat intelektual.

Dalam situs Psychiatry.Org (psychiatry.org, 2018) dikatakan bahwa gangguan mental merupakan kondisi kesehatan seseorang yang melibatkan perubahan emosi, perubahan cara berpikir dan perubahan tingkah laku (atau kombinasi dari hal-hal tersebut). Gangguan mental selalu dikaitkan dengan adanya masalah di tengah kehidupan sosial, pekerjaan atau kegiatan rumah tangga.

J.P. Chaplin, dalam Sunaryo (Sunaryo, 2004), gangguan mental didefinisikan sebagai ketidakmampuan menyesuaikan diri yang menyebabkan seseorang tidak memiliki kesanggupan dalam sistem kejiwaannya.

Melalui beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan mental: (1) Merupakan kondisi kesehatan yang berkaitan dengan gangguan pada cara berpikir, emosi, perilaku, dan gangguan hubungan; (2) Melihat gejalanya, gangguan mental dapat diidap oleh siapapun, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, masyarakat yang tinggal di kota maupun desa, buruh maupun politisi; (3) Umumnya gangguan terjadi karena stimulus dari lingkungan sosial, seperti rasa kecewa kepada masyarakat, trauma, faktor bullying, dikucilkan dari masyarakat atau masalah-masalah sosial lain; (4) Gangguan mental juga dapat berasal dari diri sendiri, seperti kesulitan dalam beradaptasi dan juga karena faktor genetik.

 

Politik dan Gangguan Mental

Adakah kaitan antara politik dan masalah gangguan mental? Siapa sajakah pelaku politik yang rentan terkena gangguan mental? Untuk menjawabnya, tulisan ini akan menggunakan tiga perspektif. Perspektif pertama melalui teori psychopatology yang digagas Harold Lasswell, perspektif kedua melalui teori post-election stress disorder (PESD) dan perspektif ketiga melalui teori post-power syndrome.

Pendekatan Psychopatology. Menurut Hamdi Muluk (Muluk, 2010), Harold D. Laswell pada tahun 1930 pernah menulis buku berjudul “Psychopatology and Politics”. Dalam buku tersebut dikatakan bahwa pada dasarnya para politisi itu rentan mengalami gangguan mental, terutama bila melihat kepada psikodinamika dari motivasi politisi. Dalam analisis Laswell, pada hakikatnya kekuasaan yang menjadi motif utama para politisi bersumber pada konflik intra-psikis politisi, yang dialihkan ke domain publik. Dengan kata lain, Laswell curiga bahwa arena politik sebagai ajang perebutan kekuasaan tidak lebih sebagai kompensasi dari ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi konflik-konflik dalam jiwanya sendiri. Motif politisi seperti ini akan melahirkan tipe politisi yang disebut sebagai “agitator”, dengan ciri-ciri haus kekuasaan, suka mencari sensasi, penuh intrik, dan menganggap arena politik sebagai permainan.

Dalam pandangan penulis, para politisi yang mengindap gangguan mental pada konteks ini umumnya adalah mereka yang sedang menjabat kekuasaan tertentu. Jabatan telah membuat mereka menjadi orang dengan “kepribadian baru,” yaitu figur-figur yang haus akan kekuasaan. Politisi demikian mengalami sindrom gigantisme (merasa diri besar), narsistik, gangguan bipolar dan megalomania. Politisi yang mengalami salah satu atau sejumlah sindrom ini bukan hanya menjadi figur yang penuh intrik, melainkan juga dapat terjerumus menjadi seorang diktator; mereka akan berusaha untuk terus mempertahankan kekuasaannya bahkan dengan melakukan kekerasan sebagai manifestasi konflik intra-psikis.

Pendekatan Post-Election Stress Disorder (PESD). Sebagaimana dikatakan Jennifer Sweeton (Sweeton, 2016).  Pada dasarnya PESD bukan merupakan salah satu gangguan mental yang masuk ke dalam daftar studi psikologi. PESD merupakan fenomena yang terjadi secara sosio-politik di lapangan. Studi utamanya adalah melaporkan kondisi mental yang diidap oleh para politisi setelah mengikuti Pemilu (election). Istilah PESD pertama kali muncul pada tahun 2016-2017 dalam Jurnal American Psychological Association (APA), yang mengemukakan bahwa banyak warga Amerika mengalami lonjakan kecemasan yang berlebihan setelah diadakannya pemilu (Kedy, 2019).

Pada saat Pemilu, hampir semua politisi (kandidat) mengalami kelelahan, kurang tidur, trauma, penuh harapan untuk menang, menjaga jarak dengan kerabat, kesepian, dan (pada intinya) stress. Namun jika politisi itu menang, maka semua beban mental yang dirasakan sepanjang proses kontestasi Pemilu akan hilang. Berbeda halnya dengan politisi yang kalah. Mereka akan mengalami kekecewaan yang mendalam. Kekecewaan itu dan dampak lainnya akibat kekalahan dalam Pemilu, dapat menimbulkan gangguan mental. Inilah yang disebut ganngguan mental pasca Pemilu atau PESD.

Psikiater klinis, Thomas G. Plante, menyatakan banyak orang yang tampaknya merasa berkecil hati, bingung, dan tertekan oleh iklim politik dan masa depan bangsa. Gejala stress yang mereka alami bisa menyebabkan masalah dalam fungsi pribadi, sosial, dan pekerjaan (kompas.com, 2019)

PESD dapat membuat penderitanya merasa tertekan, merasa terisolasi, emosional, agresif, suka melamun, kehilangan nafsu makan, sulit tidur, mimpi buruk, rasa malu, hingga merasa kehilangan harga diri. Tidak jarang mereka juga melakukan aktivitas impulsif yang sifatnya irasional. Kondisi ini terjadi akibat  ekspektasi yang tidak bertemu dengan kenyataan. Keinginan untuk mendapatkan kekuasaan yang tidak tergapai, padahal sudah mengeluarkan banyak uang, bisa membuat stress seketika. Ditambah, tekanan pekerjaan saat proses pemilihan menyebabkan politisi mengalami gangguan mental.

Pendekatan Post-Power Syndrome. Politisi yang haus akan kekuasaan, berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya. Masalah besar datang ketika para politisi yang haus akan kekuasaan kehilangan kekuasaannya. Mereka mengalami gangguan yang disebut Sindrom Pasca Berkuasa atau Post-Power Syndrome.

Jane Roberts (Roberts, 2017) menemukan fakta dalam penelitiannya, bahwa kalah, mundur, dan tak lagi berkuasa bagi politisi sama dengan kehilangan identitas yang bisa menyebabkan gangguan mental. Sambil mengutip kalimat Sigmund Freud, Roberts mengatakan, kuasa bagi politisi adalah ide atau objek yang harus diperjuangkan dengan sepenuh hati. Selain kerja keras, politisi harus melakukan pengorbanan termasuk dalam kehidupan pribadi demi ambisi. Dengan banyaknya pengorbanan yang harus diberikan, tak heran bila politisi terkena depresi saat kehilangan kekuasaan.

Politisi juga harus menanggung malu saat kembali ke lingkungan masyarakat. Terlepas dari motif angkat kaki dari pusaran kekuasaan, masyarakat akan memberi mereka label sebagai politisi gagal. Hal ini akan mempengaruhi kehidupan pribadi politisi yang merasa dunianya hancur. Tak heran bila politisi menolak bertemu dengan masyarakat selepas tidak lagi menjadi pejabat. Menurut Roberts, risiko mengalami gangguan mental mengintai siapa saja yang hendak terjun ke dunia politik. Tekanan dan ambisi menyebabkan politisi tak punya jalan lain kecuali memenuhi tuntutan tersebut.

Ketika petahana Yahya Jammeh kalah dalam pemilu Republik Gambia saat menghadapi kandidat oposisi Adama Barrow, Jammeh tidak mau mengakui kekalahannya dan enggan lengser dari kursi kekuasaannya sebagai Presiden Gambia, Afrika Barat. Tindakannya ini memicu konflik di Gambia dan membuat Jammeh harus melarikan diri ke Senegal. Kisruh politik di negeri kecil itu akhirnya memicu negara-negara Afrika Barat bertindak dan bahkan mengancam akan melengserkan Jammeh dengan paksa. Ribuan prajurit disiapkan oleh lima negara Afrika Barat, sementara para pemimpin dari Mauritania dan Guinea membujuk Jammeh untuk mau turun takhta (kompas.com, 2017).

Banyak pihak yang menduga Jammeh mengalami post-power syndrome. Dia tidak tahu harus melakukan apa setelah tak menjadi Presiden. Jabatan kepala negara, meski di negeri kecil dan miskin seperti Gambia, tetaplah merupakan pekerjaan idaman. Dia mendapatkan gaji yang besar, fasilitas nomor satu yang disediakan negara, tinggal di istana yang mewah, pengawalan 24 jam, dan belum lagi kemungkinan mendapatkan keuntungan pribadi dari jabatan tersebut. Ada kemungkinan di benak Yahya Jammeh, hidup sebagai warga biasa yang tak lagi memiliki kekuasaan sangat mengerikan dan sulit untuk dijalani.

Kesimpulan dan Solusi

Gangguan mental dapat diidap oleh siapapun, termasuk oleh individu-individu yang terjun ke dunia politik. Seperti kata Lasswell, politik adalah siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Maka sejatinya dunia politik adalah dunia yang tidak steril dari intrik. Kemungkinan seseorang terkena gangguan mental sangat besar saat memasuki dunia yang penuh intrik itu.

Para politisi yang mungkin terkena gangguan mental bukan saja diidap oleh mereka yang kalah dalam persaingan pada saat pemilu, melainkan juga berlaku bagi mereka yang sedang berkuasa dan setelah meninggalkan kekuasaan.

Pada kasus Aris Wahyudi, jika memang politisi Partai Ponsel itu terbukti mengalami gangguan mental, maka hal itu terjadi karena faktor post-election stress disorder, yakni gangguan mental yang muncul karena kalah dalam persaingan Pilkada Banyumas. Selain Aris Wahyudi, masih terdapat nama-nama lain. Sebut saja nama Yuli Nursanti, salah satu calon Bupati Ponorogo, Jawa Timur, yang kalah pada pemilihan tahun 2005 dan selanjutnya tersangkut kasus penipuan senilai Rp 3 miliar. Rentetan tersebut berujung pada percobaan gantung diri. Nama lainnya adalah Nano Hermanto, mantan anggota DPRD Kabupaten Subang, Jawa Barat, yang nekat memanjat menara seluler setinggi 62 meter di pinggiran kota Subang. Nano pun mengancam akan bunuh diri sebagai ungkapan kekecewaannya atas pengusutan kasus dugaan korupsi Bupati Subang yang mandek.

Rasa malu, kecewa, marah, beban hutang, merasa diri besar, banyaknya uang yang dikeluarkan dalam masa kampanye, enggan meninggalkan tampuk kekuasaan, terjebak praktik mahar politik, dan lain-lain, merupakan sebagian kondisi yang dapat membuat seorang politisi mengalami gangguan mental.

Setiap gejala gangguan mental memiliki treatment atau cara penyembuhan yang berbeda. Namun secara umum, hal pertama yang harus dilakukan adalah berdamai dengan diri sendiri. Lepaskan konflik intra-psikis, jadilah lebih realistis. Kedua, merubah kebiasaan; pekerjaan yang banyak, tidur yang sedikit, gemar menghambur-hamburkan uang, suka akan rasa hormat yang berlebihan, dan lain-lain harus diubah. Ketiga, mengurangi keinginan. Salah satu penyebab terjadinya stress adalah banyaknya keinginan. Stress terjadi jika keinginan tidak berjumpa dengan kenyataan. Maka kurangilah keinginan untuk mencegah terjadinya gangguan psikis. Keempat, banyak berinteraksi dengan orang-orang terdekat. Suatu ketika Gerry Spence mengatakan bahwa “kekuasaan adalah kesepian.” Orang yang berkuasa adalah orang yang kesepian. Dia dikelilingi oleh banyak orang tapi mereka adalah orang-orang memiliki kepentingan, bukan orang-orang yang tulus untuk berteman.

Daftar Bacaan

Muluk, H. (2010). Mozaik Psikologi Politik Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Roberts, J. (2017). Losing Political Office. United Kingdom: Palgrave .

Sunaryo. (2004). Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

jawapos.com. (2017, September 27). jawapos.com. Retrieved November 16, 2019, from jawapos.com: https://www.jawapos.com/opini/sudut-pandang/27/09/2017/kontroversi-situs-nikah-siri-lelang-perawan/

Kedy, W. (2019, April 29). bukuprogresif.com. Retrieved November 17, 2019, from bukuprogresif.com: https://bukuprogresif.com/2019/04/29/bahaya-gangguan-stres-pasca-pemilu-analisis-psikologi/

kompas.com. (2017, Januari 23). internasional.kompas.com. Retrieved November 17, 2019, from kompas.com: https://internasional.kompas.com/read/2017/01/23/06190061/amerika.serikat.indonesia.dan.post-power.syndrome.?page=all

kompas.com. (2019, Mei 17). sains.kompas.com. Retrieved November 17, 2019, from kompas.com: https://sains.kompas.com/read/2019/04/17/113115623/bukan-gangguan-jiwa-caleg-stres-pasca-pemilu-perlu-penanganan?page=all

merdeka.com. (2017, September 26). merdeka.com. Retrieved November 16, 2019, from merdeka.com: https://www.merdeka.com/peristiwa/jejak-ari-wahyudi-gagal-di-pilkada-banyumas-lalu-dirikan-nikahsirricom.html

psychiatry.org. (2018, Agustus). psychiatry.org. Retrieved November 16, 2019, from psychiatry.org: https://www.psychiatry.org/patients-families/what-is-mental-illness

rmol.id. (2017, September 26). politik.rmol.id. Retrieved November 16, 2019, from rmol.id: https://politik.rmol.id/read/2017/09/26/308601/Kasus-Aris-Wahyudi,-Harold-Lasswell-Sudah-Mengingatkan-Politikus-Punya-Penyakit-Kejiwaan-

Sweeton, J. (2016, November 12). psychologytoday.com. Retrieved November 16, 2019, from psychologytoday.com: https://www.psychologytoday.com/intl/blog/workings-well-being/201611/post-election-stress-disorder-in-women

WHO. (2018, April 9). who.int. Retrieved November 16, 2019, from who.int: https://www.who.int/mental_health/management/en/

 

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar