dr Reisa di Forum PWI Jaya SJI Series Bahas Perubahan Perilaku dan Budaya Hidup Sehat Mencegah Covid-19

 dr Reisa di Forum PWI Jaya SJI Series Bahas Perubahan Perilaku dan Budaya Hidup Sehat Mencegah Covid-19

JAKARTA – Kurangnya literasi digital, informasi yang tak konsisten dan tak jelas menjadikan diserbu oleh berita-berita hoax seputar Covid-19.

Dengan begitu, masyarakat pun menjadi panik, tentunya merugikan upaya dalam pencegahan penyebaran penyakit yang disebabkan oleh SARSCov-2 tersebut.

Bukan hanya Indonesia, hoax juga melanda seluruh dunia, karena pandemik ini mengagetkan sehingga masyarakat tak lagi mampu memfilter mana berita yang valid dan mana yang hoax.

Demikian antara lain kesimpulan dari webinar Forum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) Series, yang digelar melalui zoom cloud meeting, Kamis (17/9/2020).

Webinar bertajuk ‘Hoax Covid-19, Antara Pandemik dan Infodemik’ ini menghadirkan pembicara dr Reisa Broto Asmoro (Jubir Satgas Covid-19 RI), Dr Marlinda Irwanti, SE, MSi ( Direktur Pascasarjana Universitas Sahid), Sumarjono (Direktur Perencanaan Strategis & TI BPJS Ketenagakerjaan) serta apt Drs Julian Afferino T Vijaya, MS (CEO Pharma Care Consulting).

Webinar diikuti oleh 270 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia ini, dimoderatori oleh Edy Suherli (Pemred beepdo.com) dan host Tresnawati (Suara Merdeka).

Dalam sambutan pembukaan, Ketua PWI DKI Jaya, Sayid Iskandarsyah mengharapkan acara ini mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat mengenai persoalan yang selama ini sangat mengganggu, yakni berita hoax seputar Covid-19.

Direktur Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) PWI Jaya, Romi Syahril mengatakan acara tersebut merupakan upaya turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Dia berharap acara ini akan mampu mengambil peran dalam upaya pengendalian penyebaran Covid-19 di Indonesia melalui informasi yang benar dan akurat.

Dalam pemaparannya dr Reisa kembali menegaskan pentingnya konsisten melakukan 3 M, yakni menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak agar penyebaran Covid-19 dapat segera dihentikan.

‘’Tujuan edukasi adalah perubahan perilaku dan itu tidak mudah dilakukan, karena butuh waktu untuk menjadikan PHBS (Pola Hidup bersih dan Sehat) sebagai budaya. Sampai kapanpun virus ini tidak akan mungkin akan hilang dari muka bumi, yang bisa kita lakukan adalah mencoba hidup berdampingan namun tetap aman dan sehat. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan 3M tersebut,’’ ungkap Reisa.

Dalam sesi kedua, Sumarjono menjelaskan berbagai program BPJS Ketenagakerjaan dalam mengantisipasi pandemi Covid-19 ini. Dalam upaya tersebut, BPJS Ketenagakerjaan memasukkan klausul paparan Covid-19 sebagai bagian dari kecelakaan kerja.

‘’Para tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 yang disebabkan oleh tugas-tugasnya, akan mendapat jaminan dari BPJS Ketenagakerjaan. Diantaranya adalah perawatan tanpa batas maksimal, santunan upah selama tak mampu bekerja, beasiswa untuk 2 orang anak hingga senilai Rp 174 juta dan bantun kesiapan kembali bekerja,’’ ungkap Sumarjono.

Ia juga menjelaskan adanya kenaikan manfaat jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian yang tertuang dalam PP 82/2019. Diantaranya adalah kenaikan manfaat berupa santunan kematian dari Rp24 juta menjadi Rp42 juta.

Di kesempatan yang sama, apt Drs Julian Afferino, MS menegaskan bahwa tidak ada satu negarapun yang siap menghadapi Covid-19 ini. Akibatnya semua orang kaget dan tidak mampu memfilter informasi.

Yang lebih buruk, Indonesia tidak hanya menelan informasi palsu yang datang, tetapi bahkan membelinya dengan harga yang mahal. Disamping ternyata juga memproduksi sejumlah hoax mengenai hal ini.

‘’Salah satu hoax yang dibeli oleh Indonesia adalah rapid test. Dalam kondisi pandemik yang harus dilakukan adalah periksa dan pastikan, apakah seseorang telah terinfeksi oleh virus atau belum. Dalam hal rapid test, dia tidak memenuhi dua kualifikasi itu, sebab rapid test tidak dapat memastikan apakah seseorang telah terinfeksi atau belum. Ada kemungkinan negatif palsu atau positif palsu,’’ tegasnya.

Di sesi terakhir, Dr Marlinda menyoroti pola komunikasi yang selama ini dilakukan oleh pemerintah tidak mampu memenuhi empat syarat agar bisa disebut kredibel. Yaitu keandalan, kepercayaan, aksesibilitas dan keterbukaan.

‘’Banyak informasi yang tak konsisten dan tak jelas yang disampaikan oleh pemerintah, sementara akses dan keterbukaan juga masih sangat minim. Seharusnya masyarakat diberi akses luas dengan Wisma Atlet dengan RS Rujukan dan sebagainya. Begitu juga PSBB yang masih jalan sendiri-sendiri disertai dengan persepsi yang berbeda di tiap daerah. Semua itu menyebabkan hoax kemudian bertebaran di tengah masyarakat,’’ tegasnya.

Ia kemudian menyarankan, agar pemerintah merubah pola komunikasi dengan gaya yang lebih handal. Libatkan para ‘opinion leader’, penceramah untuk menjadi komunikator di tingkat terkecil, sehingga informasi yang penting dan akurat bisa mengenai sasaran.[]

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar