Senyum Jenderal Hafil bawa Misi Perindo Persatuan dan Kesejahteraan
Banda Aceh – Mayor Jenderal (Purn) TNI Abdul Hafil Fuddin, putra Meukek, Aceh Selatan adalah sesosok Jenderal yang selalu berpenampilan dendy, dengan senyum hangat dalam setiap pertemuan dengan siapa pun.
Disaat purnatugasnya, Jenderal Hafil saat ini tengah bersiap diri merebut hati konstituennya di wilayah barat-selatan Aceh sebagai Calon Legeslatif untuk DPR RI dari Partai besutan Hary Tanoesoedibjo yaitu Partai Perindo.
Kegiatan sehari-harinya, Jendral Hafil tampak lebih sering mengeratkan tali persahabatan, membangun diskusi santai bersama kolega, tokoh-tokoh pemuda, tokoh agama, jurnalis, dan elemen masyarakat lain. Inilah cara Jendral Hafil merawat komunikasi menjelang kontestasi Pileg (pemilihan legislatif) Tahun 2024.
Di mata teman-temannya, Jendral Hafil adalah personal yang humble, mudah bergaul, dan berjiwa sosial. Bicaranya juga terbuka, apa adanya. “Saya tak pandai berpura-pura,” kata mantan Pangdam Iskandar Muda ini. Minggu (15/10/23)
Jenderal Hafil bilang, ia maju menjadi bakal caleg dengan membawa visi partai Perindo; yaitu persatuan dan kesejahteraan.
“Dari situ kita jabarkan, kesatuaan dan kesejateraan itu seperti apa? Lalu, kita lihat bagaimana Aceh saat ini yang menjadi daerah termiskin kedua di Sumatra. Ini pasti ada yang salah,” kata Hafil.
Lelaki handsome ini mengaku tak habis pikir bagaimana cara pemimpin di Aceh mengelola APBA jumbo yang jumlahnya mencapai Rp17 hingga Rp19 triliun tapi penduduknya—cuma sekitar 5 juta jiwa—bisa dilabeli daerah miskin kedua di Sumatra.
“Tata kelola pemerintahannya, tata kelola keuangannya, dan ini yang kita cari solusinya kenapa bisa terjadi seperti itu?” ungkap Jenderal Hafil prihatin.
Menurut Jenderal Hafil, selain tata kelola pemerintahan dan keuangan, banyak sektor-sektor riil di Aceh yang tak dikelola dengan baik dan benar. Padahal, sektor ini sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan merupakan tulang punggung ekonomi suatu daerah.
“Sektor ini juga memainkan peran penting dalam membentuk pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Sektor riil, lanjut Jendral Hafil, meliputi sektor industri, pertanian, perkebunan, perikanan, perdagangan dan jasa.
Tanpa sektor ini, produk yang dibeli di pasar tidak akan ada atau tidak mungkin bisa diproduksi dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan.
Selain itu, katanya, sektor jasa seperti layanan kesehatan, pendidikan, dan pariwisata juga sangat penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Meski penting, lanjut Hafil, sektor riil sering menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan teknologi, fluktuasi harga komoditas, dan urbanisasi. Ini dapat mempengaruhi pertumbuhan sektor riil.
“Memahami sektor riil dan bagaimana cara memperbaiki masalahnya sangat penting bagi pembuat kebijakan dan masyarakat umum,” jelas Jendral Hafil.
Jenderal Hafil juga menggambarkan bagaimana sektor riil perikanan di kabupaten leluhurnya, Aceh Selatan, dari tahun ke tahun “dimainkan” oleh para tengkulak.
“Kita belum bisa mengubah potensi laut, pertanian, perkebunan, peternakan dan potensi-potensi lain menjadi sebuah kekuatan yang besar dan hebat,” tegas Jendral Hafil.
Ikan-ikan di Aceh Selatan, katanya, masih dimodali oleh investor dari luar. Begitu nelayan pulang melaut, tiba di darat, ikan-ikan itu dimasukkan ke dalam truk dan langsung di bawa keluar Aceh.
Di sini, menurut Jenderal Hafil, pemerintah lengah. Seharusnya dibuat regulasi agar ikan-ikan itu bisa dimasukkan ke cold storage yang dibangun pemerintah dan dikelola dengan benar.
Sehingga saat ikan-ikan itu keluar sudah dalam bentuk kalengan, atau kotak. “Tapi yang terjadi sekarang, begitu ikan turun dari kapal langsung dibawa kabur keluar,” ungkap lelaki 61 tahun ini dengan nada kecewa.
Problematika itu, menurut Jendral Hafil, sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Jika nelayan tidak melakukan hal itu (bergantung kepada rente) maka konsekuensinya tak bisa berlayar, tidak ada modal.
Ini akibat minimnya—mungkin tidak ada sama sekali—subsidi atau pinjaman modal dari pemerintah daerah sehingga nelayan sangat bergantung kepada investor luar.
“Padahal dalam setahun Aceh bisa memproduksi ikan sebanyak 28 juta ton. Dan itu berlaku dari masa ke masa. Di sinilah perlu kerja sama pemerintah daerah dengan provinsi untuk mengendalikan semua potensi itu. “Cold storage yang sudah dibangun oleh pemerintah daerah banyak terbengkalai karena sistem pengelolaannya tidak baik,” ungkap Jenderal Hafil..
Realita yang tampak menganga dan harus menjadi skala prioritas, lanjut Hafil, adalah kondisi masyarakat yang perutnya masih lapar. Ini karena tidak bisa memanfaatkan peluang sumber pendapatan yang sangat besar di sektor pertanian.
Padahal, di semua tanah Aceh ini apa saja yang ditanam Insya Allah tumbuh. “Kita tanam batang singkong saja tumbuh,” ujar Jendral Hafil. mencontohkan.
Jika itu dikelola dengan baik, ujar Jendral Hafil, maka bisa menghasilkan produk unggul dari hasil pertanian.
Pemerintah tinggal mendorong apa yang menjadi skala prioritas dari sektor pertanian, peternakan, perkebunan, industri, dan pertambangan yang menjadi cadangan bagi anak cucu nanti.
Jendral Hafil menyarankan agar harga jual hasil-hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan sektor lain bisa stabil, sebaiknya Pemerintah Aceh dan seluruh jajaran pemerintah di kabupaten/kota, membentuk semacam badan penyangga untuk mengendalikan permainan pasar.
Petani jangan lagi dibebankan soal harga dan ke mana hasil panen dijual. Petani, kata Hafil, tugasnya hanya menanam, rakyat menanam dan menghasilkan produksi. Semisal, jika biasanya menanam pohon pala satu batang menghasilkan 10 kg, bagaimana kemudian akhirnya bisa menghasilkan 30 kg perbatang.
“Itu peran pemerintah. Negara harus hadir di sini,” jelas Jendral Hafil.
Selain mengupas sektor-sektor riil, dalam diskusi panjang bersama KBA.ONE, Jenderal Hafil juga mengungkap keprihatinan ihwal terjadinya degradasi moral.
Dia melihat Aceh sebagai daerah Syariat Islam masih diwarnai banyak kasus asusila, bahkan kasus penggunaan dan penyelundupan narkoba dari luar negeri, pencurian, bahkan pembunuhan. “Benar-benar memprihatinkan,” ujarnya.
Itu realita bangsa Aceh saat ini, “Saya menyebut bangsa karena Aceh memiliki 12 suku. Lalu, apakah kita sudah bermartabat? Sekarang, coba di Jakarta kita bilang orang Aceh, langsung dijawab oh orang Aceh nomor dua termiskin di Sumatra, ya? Begitulah stigma yang disematkan ke kita saat ini,” ungkapnya.
Jenderal Hafil berharap ke depan muruah Aceh sebagai pusat pengembangan Islam di Nusantara bisa kembali menemukan jadi dirinya seperti di era kejayaannya dahulu. Aceh perlu formula khusus agar masyarakatnya bisa bermartabat dan sejahtera.
Seperti apa formula khusus itu, Jenderal? Anggota dewan itu, menurut UUD 1945, kata Hafil, memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan fungsi pengawasan.
Selain berkaitan dengan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, anggota dewan juga memiliki tugas dan wewenang untuk menyerap, menghimpun, menampung, sekaligus menindaklanjuti aspirasi masyarat.
“Jika saya dipercaya rakyat, Insya Allah formula dan skema khusus yang disandarkan atas dasar aspirasi masyarakat akan kita sampaikan ke pihak pemerintah selaku eksekutor. Doakan saja, ya…!” pinta Jenderal Hafil Fuddin di ujung wawancaranya dengan awak media. [*]