Kampus Usahid Gelar Diskusi Kebangsaan
JAKARTA – Universitas Sahid Jakarta menggelar diskusi kebangsaan yang bertajuk “Bagaimana Millenials menyikapi isu Sosial Politik Sesuai dengan Ideologi Pancasila?”, yang berlangsung di Kampus Usahid, Supomo, Jakarta, Senin (14/10/2019).
Diskusi tersebut dipandu Fit Yanuar, menghadirkan tiga narasumber, yaitu Riyan Hidayat, Sekretaris Perkumpulan Gerakan Kebangsaan (PGK), Gloria Hamel, Youth Influencer dan Iqbal Irsyad, Pengurus PWI DKI Jakarta.
Sementara itu, Riyan Hidayat mengatakan, istilah milenial muncul hidup dan berkembang dalam suasana teknologi digitalisasi yang sangat masif. Namun begitu, ada konsekuensi dari masifnya pertumbuhan digital, yaitu keterbukaan yang dapat memicu hal negatif dan positif, terutama dalam penggunaan media sosial.
Menurut Riyan, banyak isu yang sengaja dilontarkan untuk memantik gerakan politik di Indonesia. Dan ini mengerikan. Banyak isu yang dipicu dari media massa yang digunakan orang lain untuk mempengaruhi publik atau menunggangi aksi, termasuk informasi hoaks atau berita bohong lainnya.
Riyan mengungkap, sedikitnya ada 4 hal yang harus dimiliki agar tidak mudah goyah dengan isu hoaks, empat hal yang sesuai dengan ideologi Pancasila, yaitu:
Pertama, Ideologi. Orang harus punya pandangan ideologi agar tak mudah terpengaruh ideologi yang dikembangkan oleh orang lain.
Kedua, Wawasan. Diperlukan pemahaman literasi salah satunya adalah dengan membaca keadaan sosial dan kehidupan masyarakat.
Ketiga, Keterampilan. Diituntut mempunyai keterampilan untuk mengetahui teknologi yang berkembang saat ini.
Keempat, Jaringan dan Koneksi. Ada orang punya meskipun punya keterampilan dan wawasan bagus, namun banyak yang tidak terekspos karena tidak punya jaringan atau koneksi.
Sementara itu, Gloria Hamel, Youth Influencer, mengatakan bahwa politik itu hanya instrumen untuk menyuarakan pendapat. Salah satunya adalah dengan melakukan aksi unjuk rasa atau demonstrasi yang kerap dilakukan mahasiswa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
Menurut pandangan, Gloria menyarankan agar pelajar riset terlebih dahulu dengan topik yang akan diangkat. Hal ini penting agar para pelajar dapat mengkaji dan menyuarakan pendapat secara benar sehingga tidak gampang ditunggangi oleh kepentingan.
Sementara, terkait dengan banyaknya isu negatif atau kabar hoaks yang muncul saat meningkatnya intensitas politik mahasiswa melalui aksi unjuk rasa belakangan ini membuat peranan media sosial nyaris mengalahkan hegemoni dunia jurnalistik yang terkait dengan informasi cepat kepada publik.
Salah satu pengurus dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Iqbal Irsyad mengatakan, tumbuhnya informasi melalui media sosial membuat kesan semua orang bisa menjadi wartawan dadakan. Padahal cara kerja media sosial dengan jurnalistik sangat berbeda. Kerja jurnalistik harus wajib tunduk dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Di zaman orde baru dalam bidang pers media dibatasi pergerakannya. Namun pada saat ini, di tengah meraknya media sosial, kini semua orang bisa menjadi wartawan,” terang Iqbal.
Menurut dia, kalau dari KEJ, ada kaidah-kaidah jurnalistik yang harus dipenuhi seorang wartawan sesuai dengan UU Pers. Bahwa Media jika mengacu pada Dewan Pers, Pertama, media harus berbadan hukum, penanggung jawab atau pemimpin redaksi harus sudah UKW Utama, dan syarat lainnya.
“Jika menerima informasi di Medsos berbentuk link berita media, lihat dulu media tersebut apakah sudah berbadan hukum atau belum?” kata Iqbal.
Kedua dalam kaidah jurnalistik, menurut Iqbal, setiap informasi apapun di Medsos harus di cek dan kroscek terlebih dahulu. Artinya informasi yang ada di media massa, paling tidak sudah memenuhi unsur kode etik jurnalistik.
Sementara terkait dengan penanganan kabar atau berita hoaks, PWI terutama Dewan Pers sudah berusaha menertibkan semua media dengan berbagai peraturan sesuai Undang-undang.
Dalam hal ini, setiap perusahaan media massa, baik online, cetak dan elektronik, Wartawannya harus mematuhi KEJ. Sebab, bisa jadi informasi hoaks itu bukan dalam bentuk Media namun dikembangkan orang lain di media sosial, dan informasi yang ada di media sosial, tidak bisa dikategorikan media pers.
Salah satu contohnya adalah apa yang terjadi pada Obor Rakyat. Pengelolanya pun akhirnya dituntut dan masuk penjara. Artinya, jika terjadi sengketa pers antara media massa dengan publik, yang dilakukan pertama kali oleh kepolisian adalah badan hukum media tersebut, baru kemudian kaidah jurnalistiknya.
Namun begitu, Iqbal mengakui, dalam dunia jurnalistik tidak ada yang benar-benar dapat objektif, tetapi yang ada adalah keseimbangan.
“Apakah sumbernya valid? Subjektifitas kita (sebagai wartawan) ada. Itu tergantung perspektif masing masing. Tentu dengan mematuhi KEJ,” kata Iqbal.
Menyikapi maraknya aksi unjuk rasa terkait dengan pro dan kontra sejumlah revisi undang-undang, Iqbal mengatakan ada perbedaan dalam aksi unjuk rasa yang dilakukan saat ini dengan beberapa dekade sebelumnya.
Menurut Iqbal, jika demo pada tahun 1966 isu yang dibawa adalah Tritura dan itu menyeluruh yang secara langsung membawa isu yang berdampak pada masyarakat melalui tiga tuntutan rakyat. Lalu pada aksi demo 98 ketika dolar naik begitu tinggi juga secara langsung berpengaruh pada kehidupan masyarakat.
Iqbal berpendapat, aksi demonstrasi yang disuarakan beberapa pekan lalu, tidak secara menyeluruh menyentuh kehidupan orang banyak.
Tetapi Iqbal menyepakati bahwa Anak anak SMA atau STM memang harus melek politik karena mempunya mereka sebagai generasi milenial mempunyai punya hak politik. “Mereka punya hak memilih, punya hak suara, jadi harus melek politik,” tandasnya. (rls/ahy)