EKBIS

Raden Tedy : Pertumbuhan Ekonomi Kita 60 Persen Dari UMKM

JAKARTA – Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) masih menjalani masa recovery di tengah badai COVID-19.

Sementara itu Ketua Umum Komunitas UMKM Naik Kelas Raden Tedy mengungkapkan, kondisi sekarang ini memang berbeda ketika saat awal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Dengan adanya pelonggaran (new normal) para pelaku UMKM bisa kembali melakukan aktivitasnya.

Dengan adanya pelonggaran tersebut, namun masih banyak para pelaku UMKM yang mau gulung tikar, akibat dampak pandemi COVID-19.

“Saat ini memang agak berkurang pembatasannya, tapi dampaknya tetap ada. Artinya kekhawatiran masyarakat untuk keluar, serta menahan diri untuk belanja, sehingga UMKM ini masih bermasalah,” kata Raden Tedy saat berbincang, di Jakarta, Kamis (3/3/2022).

Lebih jauh Ketua Umum Komunitas UMKM Naik Kelas menjelaskan, selama dua tahun ini, UMKM ada yang meningkat baik dan ada pula yang mengalami kebangkrutan.

Hasil Survey

Hal itu dibuktikan Tedy melalui hasil survey yang dilakukannya. Ia menyebutkan ada 5,8 persen pelaku UMKM yang bangkrut setelah 2 tahun ini.

Angka tersebut berdasarkan hasil survey sebanyak 1215 responden, yang diambil dari ibu-ibu pelaku UMKM dari berbagai daerah Indonesia.

“Bahwa setelah dua tahun ini, UMKM itu ada yang meningkat bagus, ada bahkan usahanya bangkrut. Lebih kurang 5,8 persen yang bangkrut. Ini hasil survey dari 1215 responden dimana dominan itu ibu-ibu (pelaku UMKM) seluruh Indonesia. Itu 5,8 persen sudah bangkrut setelah dua tahun ini,” terang Tedy.

Tedy juga menguraikan, pada awal COVID-19 (tahun 2000), sebanyak 83 persen UMKM yang bangkrut. Tapi setelah dua tahun berlalu, per 1 Maret 2022, angkanya menjadi 5,8 persen UMKM yang bangkrut.

Menurutnya, selama proses dua tahun itu pemerintah akhirnya memberi kelonggaran. Terlebih, pada saat memasuki masa new normal, dua tahun belakangan sudah banyak perbaikan dari pemerintah.

“Kalau dulu awal COVID hanya 17 persen UMKM yang bertahan. Tapi hari ini cukup banyak. Lebih kurang kalau UMKM yang meningkat penjualannya, justru di atas 50 persen, bahkan ada yang 5,5 persen,” ujarnya.

Kemudian ada UMKM yang meningkat sampai 50 persen itu ada 9,7 persen bahkan sudah ada 15,2 persen. Nah UMKM yang tidak berubah (stagnan) itu ada di angka18,6 persen.

Ia juga menyebutkan, UMKM yang paling banyak memiliki potensi gulung tikar adalah yang berkaitan dengan sektor pariwisata dan beberapa barang yang bukan kebutuhan pokok seperti handicraft.

“Paling parah itu di Bali, karena Bali mengandalkan pariwisata. Sektor pariwisata hampir semua habis, gulung tikar. Misalnya kuliner yang ada di daerah pariwisata. Kemudian semacam handucraft barang yang tidak terlalu dibutuhkan seperti furniture. Itu yang paling banyak terdampak,” ungkapnya.

Tedy juga mencontohkan di Kota Bandung yang merupakan salah satu Kota Wisata dimana pada hari Sabtu dan Minggu pastinya ramai.

“Tapi kan pemerintah disana (Bandung) membuat satu aturan, selain pelat mobil – motor, hari Sabtu Minggu tidak boleh masuk. Nah ini juga menjadi hambatan.” ucap Tedy.

Sektor furniture, dan sektor lainnya yang banyak melakukan kegiatan ekspor juga terhambat.

“Salah satu faktornya container yang sampai hari ini kita kesulitan. Yang kedua juga pembatasan dari negara luar sana, ketiga juga regulasi dari pihak kita (Indonesia).” terangnya.

Kendati demikian Tedy berharap kepada pemerintah untuk bisa serius mengembangkan UMKM Indonesia.

“Perlu dilakukan bimbingan, kebijakan bukan pada pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah juga harus mendukung UMKM. Karena beberapa daerah terbukti ekonominya membaik kalau dia lebih banyak mendukung UMKM. Karena pertumbuhan ekonomi kita 60 persen lebih dari UMKM,” pungkas Tedy.

Selama pandemi, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menumbuhkan optimisme bagi para pelaku UMKM, diantaranya yaitu penyaluran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), restrukturisasi kredit, mendorong pelaku UMKM untuk on board ke platform digital melalui Program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI), mendorong perluasan ekspor produk Indonesia, mendorong pelaku UMKM dari sektor informal untuk bertransformasi ke sektor formal, dan mempermudah sektor perizininan, serta melalui UU Cipta Kerja diharapkan mampu memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan kepada pelaku usaha UMKM. (Rls)

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button