Tangerang- mimbar.co.id- Jokowi telah mencanangkan gagasan untuk membentuk poros maritim Indonesia. Gagasan tersebut bukanlah sebuah slogan kosong tanpa makna. Visi Presiden Republik Indonesia ke-7 untuk membuat negeri ini berjaya di sektor kelautan dan maritim adalah sebuah cita-cita besar, yang mengandung harapan juga tantangan. Negeri ini sudah sangat lama memunggungi lautnya. Itulah kalimat yang disampaikan Jokowi dalam pidatonya. Bangsa ini telah menjadikan laut, tidak sebagai halaman muka, tapi justru sebagai halaman belakang yang nyaris tidak terperhatikan secara seksama.
Indonesia adalah negara dengan pantai terpanjang kedua sedunia, setelah Kanada. Luas wilayah Indonesia hampir 70% adalah laut. Indonesia merupakan Negara Kelautan terbesar di dunia yang memiliki bentang laut luas dengan ribuan pulau besar dan kecil. Jumlah pulaunya lebih dari 13.500 buah dan mencakup wilayah sepanjang 3.000 mil laut dari Sabang sampai Merauke. Namun sampai sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2014 lalu, potensi kelautan dan kemaritiman belum tergarap dengan baik.
Menurut catatan Yudi Widiana Adia, anggota DPR RI, seperti yang dilansir kompas.com pada 21 Oktober 2014 lalu, Indonesia memiliki tiga alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) dengan potensi nilai perdaganan 1,5 juta dollar AS per hari, setara dengan sekitar Rp 18 miliar perhari. Berdasarkan data Badan Pangan Dunia (FAO), masih menurut Yudi, nilai perekonomian dari laut Indonesia diperkirakan mencapai 3 triliun dollar AS sampai 5 triliun dollar AS, setara Rp 36.000 triliun sampai Rp 60.000 triliun pertahun.
Dengan potensi sebesar itu gagasan untuk kembali ke luat adalah sebuah keniscayaan, bukan sekadar nostalgia akan kejayaan gilang-gemilang di masa lalu, melalui reputasi negara maritim yang diperlihatkan Sriwijaya dan Majapahit, atau Banten dan Makassar di era yang lebih muda. Sekali lagi, kembali ke laut adalah sebuah harapan sekaligus tantangan. Dan, tantangan terbesar untuk menjadikan tagline membangun poros maritim Indonesia adalah bagaimana mengubah persepsi dan perilaku “budaya darat” menjadi “budaya laut” atau maritim.
Untuk mewujudkan visi kelautan yang digagas Jokowi negeri ini harus mengubah haluan, memutar balik arus budaya, dan segenap perangkat dan pranta sosial maupun infrastruktur untuk mendukung visi kelautan dan maritim yang dicanangkan pemerintah. Karena itu kampanye untuk mewujudkannya menjadi penting. Baik kampanye ke dalam maupun keluar. Kampanye ke dalam diharapkan untuk memengaruhi percepatan perubahan budaya menuju budaya maritim. Kampanye keluar dilakukan agar masyarakat internasional mengetahui kedudukan dan posisi Indonesia sebagai negara maritim terbesar di dunia.
National Branding
Perlunya National Branding sebagai kampanye visi kelautan dan kemaritiman Indonesia yang pada gilirannya menarik lebih banyak investor, wisatawan, maupun mempertinggi nilai perdagangan dengan negara-negara lain. Jika menoleh ke belakang, national branding Indonesia lebih banyak mengangkat keragaman budaya, hayati dan alam, kini saatnya Indonesia perlu membangun national branding sesuai visi kelautan dan maritim yang hendak dicapai pemerintah. Slogan kampanye seperti Wonderful Indonesia, tidak secara tegas menghadirkan kekuatan potensi maritim. Sehingga perlu diubah menjadi tagline yang menonjolkan keunggulan sektor kelautan dan maritim yang dimiliki Indonesia. Tidak hanya menyentuh sektor pariwisata semata, melainkan juga perlu mencerminkan potensi alam dan industri kelautan secara luas. Sehingga tidak hanya menarik wisatawan untuk berkunjung, melainkan juga mampu mengundang minat para investor untuk menanamkan investasinya pada sektor kelautan dan maritim di Indonesia.
Raymond Miller, dalam bukunya Globalization and Identity, mendefinisikan national branding sebagai sekumpulan teori dan pengerapannya yang bertujuan untuk mengukur, membangun dan mengatur reputasi dari suatu negara (masih berhubungan dengan place branding).
Dengan kata lain national branding adalah usaha yang dilakukan untuk membangun dan menjaga citra suatu negara secara holistik. Pembentukan citra suatu negara baik internal maupun eksternal berbasis pada nilai dan persepsi positif yang dimiliki sehingga mendapatkan posisi di antara negara-negara lain di dunia.
Simon Anholt adalah tokoh yang pertama mencetuskan ide atau teori national branding. Ia kemudian bekerja sama dengan institusi Gfk Roper, dan untuk selanjutnya mendirikan lembaga riset Anholt-Gfk Roper. Lembaga inilah yang melakukan riset terhadap reputasi (brand) suatu negara dan mempublikasikannya dalam sebuah hasil dikenal dengan Nation Brands Index (NBI). NBI merupakan riset yang mendasarkan pada aspek kualitas dan kuantitas ekspor, pariwisata, kebudayaan, pemerintahan dan sifat penduduk asli negara tersebut.
NBI inilah yang kemudian menjadi rujukan bagi para investor, wisatawan, perusahaan asing, dan pihak bekepentingan lainnya untuk melihat reputasi suatu negara. Dengan demikian semakin tinggi peringkat NBI suatu negara, maka akan semakin baik reputasi negara tersebut. Dan ujungnya akan berdampak pada kemampuan negara tersebut mengahadapi persaingan. Indonesia saat ini berada pada posisi 43, masih kalah jika dibandingkan dengan Malaysia 38, Thailand 34 atau Singapura 24 (tertinggi untuk kawasan Asia Tenggara).
MARINE PARADISE
Merujuk pada visi pemerintahan untuk membangun poros maritim Indonesia, tentunya semua potensi dikerahkan untuk mewujudkannya. Termasuk pembangunan national branding yang terintegrasi dalam satu konsep yang utuh, yang mengangkat atau menonjolkan tentang potensi aspek kelautan dan maritim. Lantas apa saja yang menonjol dalam potensi kelautan nusantara kita? Inilah yang harus digali. Setidaknya ada tiga kata kunci dalam membangun sebuah national branding, yaitu perdagangan, pariwisata dan investasi.
- Perdagangan
Indonesia sejak dulu memiliki posisi penting dalam jalur perdagangan dunia. Letaknya yang berada di antara dua benua; Asia dan Australia, dan diapit dua samudera; Pasifik dan Indonesia, menjadikan negeri ini menjadi perlintasan jalur perdagangan antarnegara. Dimulai pada tahun 1521 ketika Sebastian Del Cano membawa rempah-rempah langsung dari Tidore ke Eropa, telah menjadikan Indonesia, menjadi tujuan para pedagang rempah-rempah Eropa mencari sumber komoditinya.
Kini setelah beribu tahun kemudian, posisi stategis Indonesia tetap tidak tergantikan di jalur lalu lintas perdagangan internasional. Seiring pertumbuhan negara-negara kawasan Asia yang begitu pesat, terutama RRC, sementara di sisi berbeda negara-negara Eropa dan Amerika Serikat sedang mengalami kejenuhan dan penyusutan perdagangan. Situsi ini semakin menggerser arus perdagangan dari dan menuju Asia. Fakta yagn ada adalah sejumalh 45 persen seluruh volume perdagangan laut melalui jalur laut Indonesia.
Seperti disampaikan oleh Prof. Dr. Ir Rokhmin Dahuri, MS dalam Kuliah Umum “Industrialisasi Perikanan Berbasis Sumber Daya Maritim, di Fakultas Pertanian UGM pada Jumat 5 Septemer 2014, bahwahampir 70% total perdangan dunia berlangsung di antara negara-negara Asia Pasifik. Tapi lebih dari 75 persen barang dan komoditas yang diperdagangakan ditransportasikan melalui laut dan 45 persen setara USD 1.500 triliun pertahun barang dan komoditas diperdagangngkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).
- Pariwisata
Sektor pariwisata bahari Indonesia terbentang luas dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud hingga ke Rote. Indonesia bukan hanya memiliki eksotisme pantai indah, tapi juga keindahan alam bawah laut seperti di Bunaken, Wakatobi, Rajampat, Tulamben (Bali) dan Kepulauan Seribu (Jakarta). Itu belum lokasi surfing yang menyajikan gulungan ombak yang menantang adrenaline seperti pantai Plengkung (Banyuwangi), Pulau Nias (Sumatera Utara), Nusa Penida dan Nusa Lembongan (Bali), Pantai Menatawi (Sumatera Barat), Pantai Nihiwatu (Sumba Barat), Pantai Tanjung Setia (Lampung Barat), Pantai Ombak Tujuh (Sukabumi) dan Pulau Timor.
Di antara lokasi wisata yang memanjakan bagi para petualang, wisata bahari Indonesia juga masih memiliki kehidupan budaya Suku Bajo di Wakatobi, dan Suku Laut di Kepulauan Riau. Itu hanya segelintir potensi wisata yang niscaya bakal menyedot animo turis mancanegara.
- Investasi
Selain investasi di bidang perikanan, eksplorasi sumber daya alam bawah laut Indonesia masih menyimpan potensi yang besar. Pengamat energi, Iskandar, seperti diberitakan beritasatu.com, mengatakan kekayaan minyak Indonesia diperkirakan mencapai 40,1 miliar barel dan gas bumi 217,7 triliun kaki kubik yang berada di bawah laut. Namun hingga saat ini, yang diperoleh Indonesia dari pemanfaatannya hanyalah sekitar 15 persen saja.
Demi untuk memuluskan pembangunan poros maritin Indonesia, pemerinta Jokowi – JK berencana membangun 20 pelabuhan, dan tol laut yang menghubungkan transportasi laut dari Sabang sampai Merauke yang tersambung tanpa putus.
Melihat potensi di ketiga sektor di atas sudah cukup mengilustraikan kalau Indonesia adalah surganya kelautan (Marine Paradise). Seperti dilukiskan Koes Plus dalam lagu Kolam Susu, bahwa tongkat kayu dan batu, cukup menghidupimu.
Mengapa Marine Paradise? Konsep surga dalam perspektif yang umum diilustrasikan sebagai serba indah, memesona, harmoni, keteraturan dan kemakmuran. Image seperti itulah yang ingin ditampilkan dalam tagline Marine Paradise. Sebuah konsep wilayah kelautan yang terbentang luas dengan taburan pulau-pulau layaknya mutumanikam di atas bentangan karpet biru. Sebuah wilayah kelautan yang menjanjikan kemakmuran karena sumber daya dan letak geografi yang dimilikinya.
Konsep Terintegrasi
Marine Pradise sebagai National Branding tentu saja harus terintegrasi dengan branding-branding lain yang dikreasikan untuk kepentingan serupa, baik yang dilansir departemen-departeman, dalam hal ini Pariwisata dan Perdagangan. Begitupun city branding dari masing-masing kota, terutama kota-kota pesisir, harus menrujuk pada tema utama national branding, yaitu sektor kelautan dan maritim.
Dengan adanya kesatuan tema branding akan lebih membentuk image yang kuat. Dan, lebih mudah diingat.*Dudi*.