Penting PPRA Bagi Media Penyiaran
BOGOR – Kementerian Pemberdayaan Perempuan bersama Perlindungan Anak (KPPA) RI dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), menyelenggarakan pelatihan, tentang Isu Gender dan Ramah Anak Bagi Sumber Daya Manusia (SDM) Media Penyiaran, yang berlangsung di Swiss-Belhotel Bogor, (2-3/5/2019) kemarin.
Sementara itu Panitia Pelaksana Kegiatan, Supriyadi mengungkapkan, kegiatan pelatihan bersama awak media penyiaran ini, tak lain untuk menyegarkan kembali pemahaman para wartawan mengenai isu gender dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Kegiatan ini merupakan bagian dari program sosialisasi Kementrian PPA. Tujuannya selain untuk sosialisasi juga me-refresh pemahaman dan pengetahuan teman-teman terkait isu gender dan UU Perlindungan Anak,” jelasnya.
Untuk itu Supriyadi berharap, para peserta lebih mengerti dan faham akan kaidah-kaidah pemberitaan terkait hak dan perlindungan anak.
“UU No.35 Tahun 2014, tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan anak ini memang masih perlu untuk terus disosialisasikan kepada masyarakat,” ungkapnya.
Sebagai narasumber dalam dalam pelatihan Isu Gender dan Ramah Anak Bagi SDM Media Penyiaran, yaitu Ketua Yayasan Bahtera, Hadi Utomo yang juga aktif sebagai pemerhati masalah anak.
Hadi memaparkan materi mengenai peran aktif dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, orang tua dan pihak terkait lain, dalam membantu melindungi serta menyuarakan hak-hak perempuan dan anak.
“Aturannya sudah jelas dan tegas, sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Tapi faktanya kasus kekerasan terhadap anak ini masih saja terjadi di sejumlah daerah. Bahkan, kalau dilihat dari data yang ada juga terus mengalami peningkatan,” kata Hadi.
Untuk itu Hadi berharap melalui sosialisasi ini, insan media penyiaran mampu melahirkan produk-produk jurnalis yang lebih hati-hati dan peduli dalam upaya ikut serta melindungi hak-hak anak dalam produk pemberitaan.
“Dalam berbagai kasus, peran media itu sangatlah besar. Namun bisa di bayangkan kalau media memuat berita secara fulgar dengan menampilkan data korban (anak), seperti alamat rumah, sekolah atau yang lainnya terkait dengan korban, maka si-anak tidak hanya menjadi korban atas apa yang menimpanya, tapi anak tersebut juga akan menjadi korban secara psikologis dan mental akibat pemberitaan tersebut,” paparnya.
Begitu pula narasumber lainnya, pelaku media dari Kantor Berita Antara, Irmanto yang menyebutkan, pasca diberlakukannya Pedoman Pemberitaan Ramah Anak masih ada media yang masih belum melaksanakannya.
Pada kesempatan tersebut Irmanto juga mengajak para peserta berdiskusi mengenai pemberitaan penyiaran serta menganalisanya dengan regulasi UU Pers, UU Perlindungan Anak termasuk Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA).
Dari hasil diskusi di pelatihan ini, dapat menjadi bahan masukan Kementerian PPA dalam merumuskan langkah-langkah kebijakan untuk melindungi masa depan anak.
Irmanto juga menjelaskan Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor : 1/PERATURAN-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Pedoman tersebut disusun dengan tujuan untuk menjamin hak-hak dan masa depan anak, sekaligus dimaksudkan untuk melindungi wartawan dari pidana terkait hak-hak anak. Juga terdapat 12 Poin PPRA yang dikeluarkan Dewan Pers, yang harus dipahami oleh wartawan.
Saat penutupan, Asisten Deputi Partisipasi Media Fatahillah menyebutkan, kegiatan pelatihan Isu Gender dan Ramah Anak seperti ini, akan dilakukan terus melihat untuk kepentingan anak kedepannya.
Ia juga menjelaskan, kontes pemberitaannya tidak hanya kasus kekerasan saja, akan tetapi konteks ramah anak menjadi berita positif atau yang dapat buat inspirasi bagi anak.
“Hal ini menjadi pekerjaan rumah kita kedepannya untuk anak. Saya punya ide pada hari anak nanti, untuk membuat tagline jurnalis ramah anak. Kita coba sosialisasi kepada masyarakat mengenai pemberitaan ramah anak ini,” ujarnya.(van)