Nasionalisme Film, Menggugah Tapi Tidak Norak!

 Nasionalisme Film, Menggugah Tapi Tidak Norak!

JAKARTA – Nasionalisme film di era kekinian, masih perlukah? Mungkin saja nasionalisme dalam medium film telah mengalami perubahan sudut pandang dan pemaknaan.

Pada industri film saat ini, pesan nasionalisme memang tak lagi ditampilkan secara gamblang. Setidaknya al itu tercetus dalam diskusi virtual atau webinar edisi ke-3 rangkaian Festival Film Wartawan Indonesia XII (FFWI) bertajuk “Nasionalisme dan Film”, dengan 2 nara sumber yakni Zinggara Hidayat, penulis buku ‘Jejak Usmar Ismail’, dan Denny Siregar, Produser film Sayap-Sayap Patah, serta dipandu oleh Rita Sri Hastuti, Wartawan Senior juga Anggota LSF, Jumat (16/9/2022).

Sejatinya film sejak awal kehadirannya memang diperuntukkan untuk hiburan semata. Namun dalam perkembangannya film juga menjadi alat propaganda politik dan juga ekonomi, dimana didalamnya ada muatan nasionalisme.

Lalu bagaimana perspektif nasionalisme itu dalam konteks film kita atau lebih kongkretnya, film Indonesia?

Zinggara Hidayat, menerangkan bahwa nasionalisme dalam film tidak diartikan kaku, seperti halnya film perang kemerdekaan melawan penjajah. Karena zaman berubah terjadi juga pergeseran pengertian nasionalisme.

“Nasionalisme itu bisa terlihat dari termuatnya dimensi kutural dengan cara yang soft. Karena itu perlu penulis skenario yang cerdas. Idenya harus luar biasa. Dan di dalamnya ada improvisasi!” kata Zinggara.

Ia mencontohkan nasionalisme jaman dulu di dalam film Tiga Dara karya Usmar Ismail dengan naskah ditulis M. Alwi Dahlan. Di sana diperlihatkan gaya dansa-dansi, beragam warna musik, fashion dari kebaya hingga baju modern, makanan cemilan, bahkan juga motor skuter yang dipakai oleh pemain. Dimensi kulturalnya masuk semua.

“Sementara itu menampilkan nasionalisme di jaman kini bisa dimunculkan dalam berbagai hal. Selain soal budaya, fashion, jenis makanan tertentu, bisa pula memperlihatkan daerah tertentu dengan lebih detail,”ungkap dia.

Dalam pandangan Edi Suwardi, Ketua Tim Pokja Alif Direktorat Perfilman Musik dan Media (PMM) Kemendikbud Ristek RI, sebagai sebuah seni film tidak hanya sebagai sebuah tontonan semata. Semangat nasionalisme bisa dijadikan sebagai bagian dari sebuah ide, jika bagus dalam mengemasnya akan sampai kepada pemahaman penonton.

Edi Suwardi menambahkan, film bertema nasionalisme biasanya memuat pesan baik, seperti rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan, mau saling bekerja sama, mau saling menghormati dan menghargai perbedaan, sekaligus selalu bangga menjadi warga negara Indonesia.

Sedangkan Ketua Panitia FFWI XII Wina Armada Sukardi dalam sambutannya mengatakan film Sayap Sayap Patah dibintangi Ariel Tatum dan Nicholas Saputra telah menjadi fenomena baru. Film yang dianggap memuat rasa nasionalisme itu telah mematahkan mitos, bahwa film yang berunsur nasionalisme ternyata bisa disukai penonton.

“Dari sisi finansial, kalau dihitung ada 2 juta yang menonton Sayap-Sayap Patah, berarti produser bisa mengantongi Rp 40 M. Kita jadi ikut gembira dong,” kata dia.

Denny Siregar selaku narasumber dan produser film Sayap Sayap Patah bersama sutradara Rudi Soedjarwo, dengan naskah ditulis oleh trio Alim Sudio, Monty Tiwa dan Eric Tiwa mampu menterjemahkan makna nasionalisme ke dalam film dengan kemasan drama romantis.

Jadi, berpintarlah para sineas dalam meramu dan menoktahkan nasionalisme dalam setiap karyanya. Menggugah tapi tidak mencekoki dengan norak! Begitu kali tamsilnya.

Ismail

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar