Menyoal Mundurnya Muhammadiyah dan NU dari Program Organisasi Penggerak Kemendikbud
Oleh : Andi Mapperumah Direktur Eksekutif The Fatwa Center
PROGRAM Organisasi Penggerak yang digagas Kemendikbud menimbulkan polemik. Proses seleksi kepesertaan program dinilai janggal, tidak jelas, dan tidak transparan. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memilih mundur dari kepesertaan.
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah Kasiyarno menilai kriteria pemilihan organisasi masyarakat (ormas) yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas.
“Karena tidak membedakan antara lembaga CSR yang sepatutnya membantu dana pendidikan dengan organisasi masyarakat yang berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah”, kata Kasiyarno.
Ketua Lembaga Pendidikan Maarif NU, Arifin Junaidi menilai, program ini dari awal sudah janggal. Pasalnya, dia mengaku, pihaknya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan.
“Kami nyatakan tidak bisa bikin proposal dengan berbagai macam syarat dalam waktu singkat, tapi kami di Lembaga Pendidikan Maarif NU diminta menggunakan badan hukum sendiri bukan badan hukum NU. “Kami menolak dan kami jelaskan badan hukum kami NU,” tegasnya.
***
Program Organisasi Penggerak merupakan salah satu program unggulan Kemendikbud. Program itu bertujuan untuk memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru penggerak untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik.
Dalam program ini, Kemendikbud akan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat maupun individu yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan.
Kemendikbud mengalokasikan anggaran Rp 567 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan organisasi terpilih.
Pelibatan beberapa organisasi dan lembaga dalam program itu disorot karena tidak selektif, janggal, dan sarat kepentingan. Misalnya terpilihnya Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation sebagai peserta dan menerima dana hibah. Hal ini mendapat kritikan tajam banyak pihak. Kedua lembaga itu dipandang tidak pantas dan tidak seharusnya diberi dana dari APBN. Sebab, lembaga itu milik konglomerat yang seharusnya membantu negara dengan memberikan bantuan dana pendidikan kepada negara dari dana CSR perusahan mereka.
Kejanggalan lain menurut informasi, lembaga pendidikan NU dan Muhammadiyah yang merupakan organisasi terbesar di Indonesia, malah menerima dana lebih kecil dari Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation.
***
Kesalahan besar bagi Menteri Nadiem jalan sendiri tanpa melibatkan Muhammadiyah dan NU dari awal dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan strategis di Kemendikbud.
Nadiem harusnya sadar sebagai orang yang tidak berasal dari dunia pendidikan jangan sok tahu mengenai pendidikan. Dia harus banyak belajar, mendengar, dan menerima masukan terkait kebijakan pendidikan dari Muhammadiyah dan NU. Melibatkan keduanya merumuskan berbagai kebijakan pendidikan di negeri ini.
Sebab, kedua ormas tersebut punya pengalaman panjang pendidikan bangsa ini, bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Muhammadiyah dengan ribuan lembaga pendidikan dari Dasar hingga Perguruan Tinggi. Begitu pula dengan NU yang memiliki ribuan pondok pesantren. Banyak melahirkan para ahli pendidikan.
Nadiem jangan mendikte dan mengajari kedua ormas itu soal pendidikan. Sebagai anak kemarin sore dan masih hijau soal pendidikan, dia harus tahu diri dan banyak bertanya. Adalah wajar dan memang pantas kedua ormas itu tersinggung karena semata dianggap sebagai pelengkap.
***
Nadiem sungguh tak bisa diharapkan membenahi wajah pendidikan bangsa ini. Presiden Jokowi harus menyadari bahwa sosok Nadiem bukan pilihan tepat untuk membenahi carut-marut pendidikan negara ini. Oleh karenanya, mengganti Nadiem dengan orang yang kompeten adalah pilihan yang harus diambil oleh Jokowi untuk memastikan arah pendidikan berjalan dengan benar.
Sedari awal, Jokowi telah keliru menunjuk Nadiem menjadi Mendikbud. Soal pendidikan dan kebudayaan merupakan masalah yang besar dan kompleks. Butuh orang yang kompeten dan kapabel untuk menanganinya. Mereduksi tujuan pendidikan nasional dan kebudayaan hanya untuk kepentingan pasar dan dunia kerja, sungguh merupakan cara pandang orang yang tidak mengerti hakikat pendidikan dan kebudayaan.
Oleh sebab itu, mengganti Nadiem merupakan kebutuhan mendesak saat ini guna memastikan arah dan wajah pendidikan ke depan. Menunjuk menteri baru, juga sebagai bentuk “penebusan dosa” Jokowi yang melupakan dan “menyakiti” hati Muhammadiyah dan NU yang telah banyak berjasa bagi peradaban bangsa ini.
Kedua ormas itu ratusan tahun membangun pendidikan negeri ini melalui lembaga pendidikan yang dimiliki dan mencetak kader-kader hebat. Tapi Jokowi seperti tak mengerti sejarah bahwa negara ini berhutang banyak pada Muhammadiyah dan NU. Malah memilih pengusaha gojek yang tidak memiliki jejak dan basis kompetensi di bidang pendidikan.
Nadiem memang hebat di dunia bisnis, tapi tidak di dunia pendidikan. Dunia pendidikan punya roh dan watak berbeda dengan dunia bisnis. Karenanya, bila Jokowi tetap mempertahankan Nadiem sebagai Mendikbud, akan semakin membuat pendidikan salah arah dan berubah wajah.
Watak humanistis pendidikan yang sejatinya memanusiakan manusia, berubah berwatak mekanistis yang mereduksi manusia menjadi mesin giling kapitalisme. Proses pembelajaran berorientasi materialistis yang membuat manusia hanya menjadi alat produksi bagi kepentingan pasar.***