Kekuatan Tersembunyi Tombol Like Facebook

 Kekuatan Tersembunyi Tombol Like Facebook

Penulis : Robby Milana

Pada bulan Maret tahun 2013, Michal Kosinski, Direktur Operasi dari Pusat Psikometrik di Universitas Cambridge, Inggris, menyatakan bahwa  tombol “Like” di Facebook merupakan catatan digital. Seperti halnya Google browsing, tombol like dapat digunakan untuk membuat potret yang akurat serta bisa mengungkapkan identitas seseorang. “Saya bisa memprediksi siapa Anda hanya dari tombol like Facebook Anda,” kata Kosinski (tempo.co, 2013). Sebuah pernyataan yang cukup mengerikan.

Oleh karena itu, mari lupakan bahwa tombol like di Facebook hanya sekedar asesoris dan fasilitas digital semata. Di balik bentuk dan konsepnya yang sederhana, tombol like Facebook memiliki kekuatan.

Metode Algoritma

Sebuah penelitian mengatakan bahwa tombol like di Facebook dapat berfungsi untuk menebak kepribadian seseorang, apa agamanya, dari ras apa dia berasal, bagaimana orientasi seksualnya, bagaimana afiliasi politiknya dan informasi lain seputar pemilik account di Facebook (Michal Kosinski, 2013). Begitu hebatnya fungsi dari sebuah tombol like membuat banyak orang bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa dilakukan? Bagaimana tingkat akurasinya? Pertama-tama yang perlu diketahui adalah, untuk menjadikan sebuah data yang akurat, para peneliti menggunakan metode algoritma.

Menurut Emma Knightley (Knightley, 2019), algoritma adalah serangkaian aturan matematis yang spesifik mengenai bagaimana sekelompok data bertingkah laku. Di media sosial, algoritma mengatur, membantu dan mengawasi segala hal yang disukai oleh penggunanya. Selain itu, metode ini juga mengevaluasi apa yang dikomentari dan dibagikan oleh penggunanya

Dengan kata lain, metode algoritma melakukan filter terhadap konten apa yang muncul dan konten apa yang tidak muncul di halaman media sosial pengguna. Algoritma hanya akan memunculkan hal-hal yang disukai oleh pengguna, dan menyembunyikan apa yang tidak disukai oleh pengguna. Algoritma juga menampilkan teman-teman yang sering berinteraksi dengan pengguna dan menyembunyikan teman-teman yang jarang berinteraksi. Sampai di sini kita bisa melihat sebuah hal yang lumayan terang benderang, yaitu tujuan utama dan fungsi algoritma adalah untuk memudahkan sistem dalam melacak data.

Algoritma yang digunakan oleh Facebook terletak pada News Feed yang difokuskan pada kuantitas dan kualitas interaksi (Wiltshire, 2018). Maksudnya, semakin sering dan semakin suka seseorang terhadap sebuah konten, maka konten tersebut (dan yang serupa) akan sering ditampilkan di Timeline Facebook. Pendeknya, Facebook akan menampilkan konten yang relevan bagi users. Jika user seorang penggila sepakbola dan tidak suka dengan masalah politik, maka hanya konten sepakbola yang akan dimunculkan di Timelinenya. Sementara konten mengenai Puan Maharani yang menjadi Ketua DPR atau Fahri Hamzah yang mendirikan Partai Gelora atau konten politik lainnya, tidak akan dimunculkan. Boleh dibilang, algoritma Facebook mirip dengan sebuah mesin sweeping.

Konten relevan juga berkaitan dengan kedekatan users kepada pengguna lain yang dianggap masuk ke dalam lingkaran keluarga dan kolega terdekat. Facebook akan memprioritaskan untuk memunculkan konten dari keluarga dan kolega users. Itu artinya, konten dari pihak keluarga dan kolega dekat akan tetap muncul di Timeline users meskipun kontennya tidak berkaitan dengan kesukaan users.

Salah satu cara algoritma Facebook bekerja adalah melalui tombol like. Melalui tombol like yang diklik oleh users, sistem algoritma Facebook akan menyisir konten apa yang relevan dan tidak relevan bagi users. Namun, lebih jauh dari itu, melalui tombol like dan metode algoritma, sistem juga dapat mengumpulkan data spesifik mengenai pengguna Facebook. Data itu kemudian dapat disimpulkan untuk membaca identitas seseorang baik secara demografis maupun psikografis.

Kekuatan Tombol Like Facebook

Tombol like yang bersimbol tanda jempol ke atas di Facebook sudah jamak digunakan users. Sebagian orang memandang tombol like tidak lain hanya sebagai sebuah fasilitas untuk menunjukan ekspresi suka terhadap konten yang dilihat atau dibacanya. Orang tidak menyadari bahwa tombol like dapat meninggalkan jejak yang sangat pribadi. Melalui jejak itu, pihak tertentu dapat memprediksi siapa users yang bersangkutan. Ditambah lagi, sekarang ini tombol like sudah dikembangkan dengan menambahkan ikon reaksi yang dapat menunjukan respons emosional seseorang terhadap sebuah konten tertentu.

Jika ada seorang user memberikan tanda “love” pada foto bayi yang diupload oleh temannya, namun memberikan tanda “marah” pada status yang mengangkat soal banyaknya anggota PDIP di DPR, maka bisa saja user itu disimpulkan sebagai seseorang yang cinta pada anak-anak namun pembenci Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Maka selanjutnya, melalui metode algoritma, Facebook akan lebih sering menampilkan foto bayi di Timeline user tersebut, dan mengurangi (bahkan menghilangkan) konten mengenai PDIP.

Michal Kosinski, David Stillwella, dan Thore Graepel melakukan penelitian pada tahun 2013 dengan tema, “Private Traits and Attributes are Predictable From Digital Records of Human Behavior.” Hasil penelitian mereka kemudian dipublikasikan oleh jurnal PNAS (Proceedings of the National Academy of Sciences) di Amerika Serikat pada tahun 2013. Dengan menggunakan 58.000 relawan, Kosinski dkk dapat memprediksi data yang sangat pribadi dengan tingkat akurasi yang sangat tinggi. Kosinski dapat memprediksi gender dengan akurasi 93 persen, ras dengan akurasi 95 persen, orientasi seksual dengan akurasi 88 dan 75 persen, pengguna narkoba dengan akurasi 65 persen, afiliasi politik dengan akurasi 85 persen, agama dengan akurasi 82 persen, dan status pernikahan dengan akurasi 67 persen (Michal Kosinski, 2013).

Itu artinya, melalui tombol like yang diklik oleh pengguna, data pengguna dapat dimiliki, dianalisis dan disimpulkan. Data yang dianalisis tidak hanya sebatas data demografis (informasi  pendidikan, pekerjaan, usia, dan sebagainya), melainkan juga data psikografis (informasi perilaku dan kepribadian pengguna).

Mekanisme yang digunakan Kosinski dkk adalah dengan melakukan pengamatan terhadap pengguna Facebook yang menggunakan tombol like untuk mengekspresikan hal positif yang diasosiasikan dengan konten online, seperti foto, video, status update, produk-produk dari Facebook Page, olah raga, event, musisi idola, buku, restoran atau web yang digandrungi pengguna Facebook. Hal-hal tertentu yang diberi like, dan dilakukan berulang, dapat dijadikan batu pijakan untuk memprediksi identitas pengguna Facebook; baik secara demografis maupun psikografis. Semakin sering seseorang mengklik tombol like, semakin akurat prediksi Facebook mengenai identitas orang itu.

Selain dapat memprediksi informasi demografis dan psikografis, tombol like, beserta metode algoritma yang digunakan, juga dapat memprediksi bagaimana persepsi seseorang terhadap dunia. Yang mengkhawatirkan beberapa pakar, Facebook bukan cuma bisa memprediksi bagaimana persepsi seseorang, melainkan juga mampu mendorong seseorang untuk membentuk persepsi tersebut melalui sistem sweeping algoritma. Ini kekuatan yang luar biasa yang dimiliki Facebook.

Kekuatan tersebut dapat digunakan oleh perusahaan, politisi, dan kaum professional. Maka kemudian kita pernah mendengar istilah “big data.” Identitas user di Facebook masuk ke dalam salah satu kategori penyumbang big data. Big data memiliki nilai yang tinggi bagi kaum professional, politisi dan bisnis. Secara bisnis, Facebook sangat diuntungkan. Selain Facebook, ada beberapa pihak lain yang juga diuntungkan, tetapi yang jelas bukan users.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Veikko Eranti dan Markku Lonkila (Eranti and Lonkila, 2015) menyimpulkan bahwa tombol like pada Facebook memiliki signifikansi sebagai berikut:

Pertama, dapat menjadi sumber data bagi Facebook. Kedua, dalam term ekonomi, tombol like merupakan elemen penting dalam memunculkan kelompok “reputation-based” untuk dijadikan model bisnis yang dapat meningkatkan sharing bagi perusahaan yang bergerak di Web. Mereka kemudian akan menjadikan pengguna Facebook sebagai target market untuk beriklan. Ketiga, tombol like juga memiliki implikasi penting dalam bidang politik. Barack Obama, Donald Trump dan Brexit menjadi bukti konkret mengenai implikasi politik yang dilakukan oleh tombol like.

Kritik Terhadap Tombol Like Facebook

Keberadaan tombol like di Facebook bukan tanpa kritik. Kritik umumnya terfokus pada dua hal. Pertama, pada masalah kesehatan mental pengguna. Tombol like, disadari atau tidak, dianggap dapat mengganggu kesehatan mental pengguna. Like telah diasosiasikan oleh banyak pengguna sebagai validasi untuk diterima secara sosial, tolak ukur harga diri, dan merasa diperhatikan. Pengguna yang mendapatkan like banyak akan merasa bahwa mereka diterima secara sosial, memiliki harga diri yang tinggi dan merasa sangat diperhatikan oleh teman-teman Facebooknya. Meski itu hal yang semu. Sebaliknya, pengguna yang sedikit mendapat like atau bahkan tidak mendapat sama sekali, akan merasa tidak diterima, tidak diperhatikan. Mereka akan mengalami depresi dan tidak percaya diri.

Kedua, kritik dari segi privasi. Seperti telah disinggung sebelumnya, like yang diberikan oleh seorang pengguna dapat memberikan data kepada Facebook tentang apa saja yang disukai oleh masing-masing pengguna. Data tersebut kemudian dijual kepada pengiklan (baik pengiklan dari perusahaan maupun politik) untuk menarget pengguna terkait. Hal ini dianggap melanggar privasi.

Kritik pada hal mendasar yang muncul sebagai ekses dari tombol like Facebook sebaiknya mulai diperhatikan. Karena bagaimana pun setiap kali kita mengklik like button di Facebook, kita sudah terindikasi mengalami gangguan mental dan penyalahgunaan privasi. Tidak mengherankan jika pencipta tombol like, Justin Rosenstein, bukan hanya takut pada hasil karyanya sendiri itu, melainkan dia juga sudah menghapus aplikasi Facebook dari ponselnya.

Melalui tombol like, Facebook sudah “menangkap” Anda.

Bahan Bacaan

detik.com. (2019, September 27). inet.detik.com. Retrieved November 18, 2019, from detik.com: https://inet.detik.com/mobile-apps/d-4724937/facebook-mulai-coba-sembunyikan-tombollike

Eranti and Lonkila, V. a. (2015). The Social Significance of The Facebook Like Button. First Monday , Volume 20 No. 6.

Knightley, E. (2019, Mei 7). digitalmarketinginstitute.com. Retrieved November 16, 2019, from digitalmarketinginstitute.com: https://digitalmarketinginstitute.com/en-au/blog/how-do-social-media-algorithms-work

kompas.com. (2017, Oktober 9). tekno.kompas.com. Retrieved November 18, 2019, from kompas.com: https://tekno.kompas.com/read/2017/10/09/11000077/pencipta-tombol-like-hapus-aplikasi-facebook-ini-alasannya?page=all

Michal Kosinski, D. S. (2013). Private Traits and Attributes are Predictable from Digital Records of Human Behavior. PNAS , Volume 110 Nomor 15.

tempo.co. (2013, Maret 12). tekno.tempo.co. Retrieved November 16, 2019, from tempo.co: https://tekno.tempo.co/read/466529/efek-bahaya-tombol-like-di-facebook/full&view=ok

Wiltshire, E. (2018, April 26). socialmediatoday.com. Retrieved November 18, 2019, from socialmediatoday.com: https://www.socialmediatoday.com/news/the-current-state-of-social-media-algorithms/522260/

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar