NASIONAL

Hak Asasi Manusia di Tengah Pusaran Aktivisme: Sebuah Refleksi

Jakarta, mimbar.co.id, Hak asasi manusia merupakan fondasi moral peradaban, pengakuan inheren bahwa setiap individu memiliki martabat dan hak yang tak dapat dicabut, semata-mata karena mereka manusia.

Direktur Katanusa Foundation M. Sauki mengungkapkan, pada 10 Desember 2025, merupakan puncak peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia ke-77.

Pada tahun ini tema global yang diusung adalah, “Our Everyday Essentials”, dimana hak asasi manusia memberi tekanan khusus pada tiga aspek utama, yakni: pertama, positif, hak asasi manusia tidak hanya untuk melindungi, melainkan juga untuk membawa kebahagiaan, kegembiraan, dan rasa aman dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, esensial, hak asasi manuia merupakan kebutuhan mendasar yang menyatukan kita semua di tengah perbedaan.

Ketiga, attainable, dimana penegakan hak asasi manusia harus dimulai dari diri sendiri, dari pilihan-pilihan kecil praktik kehidupan sehari-hari seperti menghormati orang lain, menyuarakan ketidakadilan, dan mendengarkan mereka yang terabaikan.

Sauki juga menyebutkan, momentum peringatan tahun ini menjadi spirit dan energi global untuk menegaskan kembali nilai-nilai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan menjembatani prinsip-prinsipnya dengan pengalaman sehari-hari.

Namun di era digital dan polarisasi politik saat ini, aktivisme telah menjadi salah satu medan utama perjuangan hak asasi manusia, mengubah cara hak-hak ini diperjuangkan, diperdebatkan, dan terkadang, justru disalahgunakan.

Peran Kunci Aktivisme Kontemporer

Lanjutnya, aktivisme kontemporer yang ditopang oleh media sosial dan teknologi komunikasi, telah memberikan energi baru pada gerakan hak asasi manusia.

Sauki menawarkan platform global bagi kelompok-kelompok terpinggirkan untuk bersuara, mendokumentasikan pelanggaran secara real-time, dan memobilisasi dukungan lintas batas.

Kasus-kasus ketidakadilan yang dulunya terisolasi kini dapat menjadi isu global dalam hitungan jam, memaksa pemerintah dan korporasi untuk bertanggung jawab.

“Kecepatan dan jangkauan ini adalah kekuatan besar. Mereka telah memungkinkan gerakan-gerakan besar seperti Black Lives Matter, Me Too, dan berbagai kampanye iklim untuk membawa perubahan kebijakan yang signifikan,” ujarnya.

Sebagai “katup pengaman” demokrasi, aktivisme mampu memastikan bahwa wacana publik dan agenda politik terus menyertakan suara-suara yang menuntut kesetaraan dan keadilan.

Tantangan dan Jebakan Etik-Moral

Kemudian, gelombang aktivisme kontemporer, yang diperkuat oleh media sosial dan konektivitas global, telah menjadi kekuatan transformatif besar dalam menuntut perubahan sosial dan politik.

Namun, bersama dengan kekuatan ini, muncul serangkaian tantangan dan jebakan etik moral yang kompleks, yang dapat mengancam integritas gerakan dan kredibilitas aktivis itu sendiri.

Tantangan pertama adalah verifikasi dan kebenaran (the truth crisis). Di era post-truth dan informasi yang berlimpah, tantangan terbesar adalah membedakan antara fakta dan disinformasi (penyebaran informasi palsu dengan sengaja) atau misinformasi (penyebaran informasi palsu tanpa disengaja), paparnya.

Aktivis memiliki tanggung jawab etik untuk memastikan bahwa klaim, data, dan narasi yang mereka sebarkan adalah akurat dan terverifikasi.

Kegagalan dalam hal ini dapat merusak kepercayaan publik dan memberikan amunisi bagi pihak yang menentang. Tantangan kedua adalah keseimbangan antara tujuan dan cara (the ends justify the means), dimana muncul fenomena godaan pada aktivis untuk membenarkan tindakan yang secara moral meragukan.

Sehingga perlu diperdebatkan lagi nilai moralitas tujuan dikaitkan dengan cara-cara yang digunakan untuk memperolehnya. Salah satu contohnya adalah manipulasi emosi publik (sentimen) untuk menghasilkan kemenangan politik atau dukungan publik. Dan tantangan yang ketiga adalah inklusivitas dan representasi.

Aktivisme harus berjuang melawan kecenderungan untuk mereplikasi struktur kekuasaan yang ingin mereka lawan. Tantangan etikanya adalah memastikan bahwa gerakan benar-benar inklusif dan bahwa suara-suara yang paling terpinggirkan (yang seharusnya dibela) tidak malah terbungkam atau diabaikan oleh kelompok aktivis yang lebih dominan.

Selain berhadapan dengan berbagai tantangan tersebut, aktivisme kontemporer juga harus menghindari jebakan etik-moral terutama dalam ruang digital dan sosial. Jebakan pertama adalah cancel culture. Budaya pembatalan adalah jebakan moral yang berbahaya.

Related Articles

Back to top button