“Berakhlak”, Elemen Moral Profesionalitas Wartawan

 “Berakhlak”, Elemen Moral Profesionalitas Wartawan

Oleh: Amir Machmud NS

PADA titik manakah kita menemukan aspek moral “berakhlak” dari 11 pasal Kode Etik Jurnalistik?

Rasa-rasanya, tak satu pun pasal yang tidak memuat substansi moral itu sebagai syarat mutlak profesionalitas wartawan.

Saya menyimpulkannya sebagai “iktikad fungsional” untuk menjabarkan fungsi media dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni memberi informasi, memberi edukasi, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial.

Bayangkanlah, tanpa kemuliaan perilaku (akhlaqul karimah), apakah mungkin fungsi-fungsi media itu bisa dipancarkan? Tanpa menjabarkan etika sebagai pedoman berperilaku (akhlak), apakah mungkin wartawan menghadirkan atmosfer prodesionalitas dari dalam dirinya, untuk ekosistemnya?

Dengan melihat realitas perkembangan praksis-etis dalam praktik kewartawanan, sejauh ini, sangatlah mengena tema Uji Kompetensi Wartawan (UKW) PWI kerja sama dengan Kementerian BUMN yang hari-hari ini sedang bergulir, “Menciptakan Wartawan Profesional dan Berakhlak”.

Antara Iktikad dan Tujuan

Akhlak, dalam perspektif kerja jurnalistik, adalah kemasan kolaboratif antara iktikad dan tujuan. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam karya legendaris Elemen-elemen Jurnalisme, merumuskan narasi yang memikat, “Berikan sinar, dan orang-orang akan menemukan jalannya…”

Tujuan menemukan kebenaran, yang dalam Kitab Suci dinarasikan sebagai “min-adzulumaat ila-annuur” (dari kegelapan menuju cahaya), membutuhkan kinerja akhlak yang penuh loyalitas dalam iktikad luhur memberi informasi, mengedukasi, menghibur, dan menjalankan kontrol sosial.

Ketika tujuan mulia itu terusik oleh aneka kepentingan yang secara alamiah berpotensi muncul dalam praktik kehidupan manusia — termasuk wartawan –, sangatlah mungkin standar perilaku tak lagi diukur dari parameter iktikad. Akhlak boleh jadi menjadi pertimbangan nomor sekian, dibenamkan oleh tujuan-tujuan yang bernilai “bias”.

Dan, realitasnya, praktik profesi di dunia kewartawanan bagai tak pernah selesai berdinamika dengan aneka kisah pelanggaran profesionalitas.

Tiga Sumber

Umumnya, pelanggaran-pelanggaran etika jurnalistik bersumber dari:

Pertama, ketidakpahaman tentang kemuliaan profesi ini. Tak sedikit orang yang memandang secara instan, dengan menyandang profesi wartawan mereka balal memiliki posisi tawar untuk menekan orang-orang atau instansi tertentu, yang dijadikan sumber memeroleh atau meraih kepentingannya.

Tak jarang mereka hadir di kancah kewartawanan dengan bekal minim kecakapan teknis. Dan, dalam tingkat terendah, melakukan praktik pemerasan dengan beragam modusnya.

Kedua, sumber pelanggaran itu berupa kenyataan betapa banyak wartawan yang sejatinya paham tentang nilai-nilai jirnalistik, namun tidak berusaha menghindarkan diri dari hasrat melanggar.

Artinya, ketika ada kesempatan, dia akan mengambilnya tanpa memedulikan apakah itu membelakangi etika kewartawanan atau tidak.

Ketiga, mereka yang paham tentang etika jurnalistik — dalam posisi sebagai pengambil kebijakan di media –, namun justru sengaja mencari celah untuk kepentingan tertentu.

Pada jenis sumber pelanggaran yang ketiga ini, bukan tidak mungkin yang melakukan adalah wartawan yang sudah dinyatakan tersertifikasi, apakah dari level Muda, Madya, atau Utama.

Walaupun telah mengikuti uji kompetensi yang antara lain melewati mata uji Hukum Pers dan Kode Etik Jurnalistik, namun lantaran menghayatinya hanya dari level “permukaan”, maka etika sekadar lewat sebagai pemenuhan “administratif”, belum menjadi “sikap hidup”, atau semacam “darah yang mengalir dalam nadi kewartawanannya”.

Sikap-sikap oportunistik, termasuk dalam keterlibatan pemberitaan politik-kekuasaan, menjadi contoh nyata mereka “paham etika tetapi berupaya menyiasatinya” untuk orientasi non-jurnalistik.

Baik dari sumber pelanggaran pertama, kedua, maupun ketiga, masalah yang kita temukan adalah tipisnya penghayatan keakhlakan dalam menjalani profesi yang hakikatnya sudah diikat dengan moralitas kode etik.

Kode etik belum merasuk sebagai “akhlak profetik” untuk selain melindungi wartawan dari kmungkinan celah sosial dan hukum, juga untuk menegaskan tentang tujuan berjurnalistik dan bermedia dalam ungkapan “iktikad fungsional”.

Menurut saya, organisasi profesi kewartawan seperti PWI sudah secara tepat menguatkan ikhtiar penyegaran sikap profesional itu dengan tagline “Menciptakan Wartawan Profesional dan Berakhlak”.

Gelaran UKW bersama BUMN dengan taglime itu harus dijadikan sikap bersama, terus menerus dikampanyekan dengan persuasi masif.

“Berakhlak” adalah “way of life” wartawan yang merupakan kristalisasi nilai-nilai Kode Etik Jurnalistik. Kita jangan sekadar menjadikannya sebagai jargon yang menebar pesona namun tak punya “tenaga”.

— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah, dosen Prodi Ilmu Komunikasi UKSW

Berita Terkait