WARTAWAN SE INDONESIA TOLAK REVISI UU MD3

 WARTAWAN SE INDONESIA TOLAK REVISI UU MD3

Cisarua, Bogor-mimbar.co.id-Sebanyak 146 wartawan dari Sabang sampai Merauke yang menjadi peserta sosialisasi peningkatan pemahaman hak konstitusional warga negara bagi wartawan media massa cetak, TV, Radio dan online, sepakat menolak revisi UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

“Pernyataan sikap. Kami menolak pemberlakuan UU MD3 sebab dipahami mengekang kemerdekaan pers,” ujar perwakilan Wartawan se-Indonesia Fernandus Yusi Adam di hadapan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Dr. H. Anwar Usman. SH., MH, yang berlangsung di Graha 3 Pusdiklat Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor, Kamis (1/3/2018).

Selain menolak pemberlakuan UU MD3, para wartawan juga mendorong seluruh pihak untuk menghormati kebebasan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Tak hanya itu, para peserta juga menganggap ada UU yang krusial untuk direvisi. UU tersebut mengekang kebebasan pers dan hak konstitusional warga negara.

Sementara itu, Wakil Ketua MK Anwar Usman menerima pernyataan sikap wartawan tersebut, sekaligus mengapresiasi langkah Jurnalis se-Indonesia. Namun Anwar mengakui dirinya belum berani memberi komentar eksplisit.

Anwar menegaskan, kalau sampai saat ini presiden belum menandatangani UU MD3 yang memicu polemik tersebut.

Begitupun, teramat disadari bahwa tak ada efek apapun bila presiden meneken atau tidak. Sebab tak ditandatangani sekalipun, revisi UU MD3 itu bakal berlaku otomatis 30 hari sejak ditetapkan. Bila menginginkan efek langsung, maka harus ada pemohon yang melakukan judicial review.

Ia menyebutkan, ternyata sudah ada tiga judicial review yang masuk ke Mahkamah Konstitusi. “Saya belum bisa berkomentar, hanya saja memang sudah ada tiga judicial review yang masuk ke MK,” ujarnya.

Untuk itu, Wakil Ketua MK berharap agar Jurnalis bisa berperan serta membangun kesadaran dalam berkonstitusi. Bagaimanapun juga, kerja-kerja Jurnalis berperan vital dan memberi efek besar bagi tegaknya supremasi hukum, konstitusi. Bila ada UU yang melanggar hak konstitusional memang butuh kritik dan pengawalan ketat agar bisa kembali ke jalur atau fitrahnya, yakni UUD 1945. (Van)

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar