Wartawan Menjadi Duta Besar

 Wartawan Menjadi Duta Besar

Catatan Hendry Ch Bangun

PEKAN lalu saya diundang Uni Lubis, nama panggilan wartawan perempuan senior Zulfiani, ke kantornya di IDN Times, di kawasan Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, untuk menghadiri acara perpisahan dua wartawan yang belum lama dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Duta Besar.

Yakni Michael Trias Kuncahyono (pensiunan Harian Kompas) yang menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Tahta Suci Vatikan dan Meidyatama Suryodiningrat (Direktur Utama LKBN Antara) yang ditetapkan sebagai Duta Desar Republik Indonesia di Republik Rumania, merangkap Republik Moldova.

Menurut Dirjen Amerika dan Eropa Kementerian Luar Negeri, Umar Hadi, ini merupakan pertama dalam sejarah, dua wartawan dilantik pada saat yang sama sebagai duta besar.

Kalau ditambah lagi dengan Suryopratomo yang saat ini menjabat Dubes RI di Singapura, maka setidaknya pada tahun 2023 ini, masyarakat pers bangga karena ada tiga warganya dipercaya menjadi kepala perwakilan Indonesia di luar negeri.

Dengan Yang Mulia Trias Kuncahyono, saya kenal dekat karena kami memang bertahun-tahun satu kantor, pernah di Harian Warta Kota di awal berdirinya, dan kemudian di Harian Kompas.

Dengan Yang Mulia Meidyatama, yang nama panggilannya Dimas, saya juga sering berinteraksi, baik di acara Persatuan Wartawan Indonesia, maupun ketika saya menjadi anggota Dewan Pers.

Kedua-duanya adalah alumni Palmerah Selatan, komplek kantor-kantor media anggota grup Kompas Gramedia. Dimas sebelum memimpin Antara adalah pimpinan di The Jakarta Post.

Yang menarik dari kawasan itu sebelumnya lahir pula tiga orang duta besar. Yang pertama adalah Sabam Siagian yang bertugas di Australia, kemudian Susanto Pujomartono yang ditempatkan di Uni Soviet, dan August Parengkuan yang menjadi Dubes RI di Italia. Suryopratomo juga belasan tahun menjadi warga Palmerah ketika dia menjadi wartawan dan kemudian Pemimpin Redaksi Harian Kompas, sebelum pindah ke Media Indonesia dan MetroTV. ***

Acara sore hari ini dihadiri dua orang yang pernah menjadi duta besar. Umar Hadi sebelumnya adalah Dubes RI untuk Korea Selatan, kami pun pernah bertandang ke kantor saat rombongan PWI Pusat membalas kunjungan wartawan Korea Selatan (Korea Journalist Association).

Ada pula Tantowi Yahya yang tahun lalu mengakhiri darma bhaktinya sebagai wakil tertinggi Indonesia di Selandia Baru.

Ada satu orang menteri aktif, Menkop UKM Teten Masduki, dan dua mantan menteri yakni Lukman Hakim Saefudin serta Enggartiasto Lukita.

Mereka ini diundang Uni karena memang kenal baik dengan dua dubes baru dan ada kaitannya dengan memberi masukan bagi keduanya yang akan segera berangkat menjalankan tugas di negeri orang.

Ada Ketua Komisi I RI, Meutya Hafidz, yang menguji calon dubes yang diajukan Presiden RI. Lalu ada Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.

Hadirin lain adalah wartawan, dengan tokoh sentral Ishadi SK, dan teman-teman yang ada sangkut pautnya dengan dubes baru, baik karena satu profesi maupun diharap dapat menjadi teman diskusi dalam acara yang berlangsung sekitar 3 jam itu.

Satu hal yang menarik disampaikan Tantowi, dulu anggota Komisi I DPR RI, berdasarkan pengalamannya. Menurut dia Duta Besar merupakan jabatan yang mentereng walaupun anggarannya sangat minim.

Sebagai “Presiden RI” di wilayah suatu negara, Dubes sesuai dengan jabatannya adalah luar biasa dan berkuasa penuh. Dia memiliki kekebalan, imunitas diplomatik.

“Kalau dia mau santai saja, bekerja sesuka hatinya, tidak ada yang bisa marah. Menteri tidak sempat mengontrol sekitar 190 duta besar Indonesia, Presiden apalagi. Kalau begitu maka rugilah rakyat Indonesia.

Tetapi kalau dia kreatif, melakukan banyak hal untuk memperkenalkan negara tercinta, melakukan kegiatan sehingga orang lebih mengenal Indonesia, menanamkan investasi, membuka pasar produk kita, maka beruntunglah Presiden yang mengusulkan, DPR yang menyetui, dan rakyat yang diwakilinya. Tentu ini harapan saya kepada dua Yang Mulia yang sebentar lagi bertolak k epos tugasnya,” kata Tantowi.

Enggartisato Lukita yang kini lebih fokus mengurus usahanya, berharap para duta besar melakukan kegiatan yang membuka peluang bisnis bagi pengusaha dalam negeri. Entah itu menjalin kerjasama, mendatangkan turis, mendatangkan investor, dsb sehingga perekonomian Indonesia terus berputar kencang di tengah kondisi global yang tak menentu.

Lukman Hakim menyampaikan bahwa salah satu kekayaan Indonesia yang bisa dijual dalam arti dipromosikan adalah keberagaman Indonesia yang secara umum dapat dikelola dengan baik dan telah banyak menjadi contoh.  Aneka suku, budaya, agama, dan masyarakatnya yang tersebaru di belasan ribu pulau, tidak menjadi sumber perpecahan tetapi justru dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat. Saat ini Indonesia dianggap negara yang sangat gencar mengkampanyekan dialog antaragama dan tokhnya banyak tampil di forum internasional.

Ketiganya sepakat bahwa status wartawan yang relatif mudah berkomunikasi dengan siapa saja, dapat menyampaikan gagasan dengan bahasa dan gaya yang lancar, mudah bergaul, dan cepat dalam merumuskan persoalan, menjadi modal besar sebagai duta besar. Termasuk dalam melaporkan hal yang terkait Indonesia di negara mereka ditempatkan. ***

Meutya Hafidz mengatakan yakin bahwa Trias Kuncahyono dan Meidyatama Suryodiningrat akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik sekaligus menjaga nama baik korps wartawan, sehingga ke depan peluang wartawan untuk menjadi duta besar akan terus terbuka.

“Dan kita harapkan dari kalangan pers akan terus terpilih orang yang mampu menduduki jabatan duta besar karena kapasitasnya,” ujar mantan wartawan MetroTV ini.

Trias sendiri sebelumnya menyatakan dia tidak tahu mengapa dipilih Presiden RI Joko Widodo menjadi duta besar. “Saya sudah pensiun sejak 2018, hanya menulis rutin saja tentang masalah luar negeri,” ujarnya. “Tetapi saya bersyukur dipercaya menjadi wakil Indonesia di Tahta Suci Vatikan dan akan berupaya menjalankan tugas dengan baik.”

Umar Hadi menambahkan, teman-temannya di Kementerian Luar Negeri rutin membaca kolom “Kredensial” Trias Kuncahyono di Harian Kompas, karena memberikan perspektif lain di samping apa yang menjadi pemikiran  staf di kementerian. Tulisan Trias pada awalnya fokus pada masalah di Timur Tengah sesuai dengan bidang liputannya, tetapi kemudian melebar ke berbagai topik internasional di wilayah-wilayah lain.

Salah satu tugas wartawan duta besar adalah dapat mengatasi opini negatif tentang Indonesia, yang disuarakan media setempat. Sabam Siagian dianggap sukses menaklukkan media di Australia karena dia berani berdebat dengan wartawan tempatan di Press Club yang dianggap sebagai sarang “harimau”.

Keberhasilannya itu sedikit banyak juga membuat hubungan antara pemerintan Indonesia dan Australia menjadi hangat, sebab pemerintah Australia sendiri tidak bisa mengatur arah pemberitaan media di negaranya sebagai wujud dari kebebasan pers di sana.

Itu tentu harapan pemerintah, kapasitasnya membuat wartawan duta besar lebih tahu cara untuk bergaul dan memanfaatkan media lokal untuk kemaslahatan negara kita, agar nanti-nanti bila ada wartawan yang dicalonkan jadi dubes, selau mendapat support dari pemerintah, DPR, diplomat karier.

Kita masih ingat nama Adam Malik, Manai Sophiaan, BM Diah, wartawan yang pernah jadi duta besar hebat pada masanya.Di era Tarman Azzam menjadi Ketua Umum PWI Pusat (1998-2008), PWI selalu mengusulkan ke Kementerian Luar Negeri nama-nama yang dianggap layak menjadi duta besar Indonesia. Pada masa itu pengurus PWI Pusat yang akhirnya terpilih menjadi dutabesar antara lain Djafar Assegaf, August Parengkuan.

Sebagai organisasi yang menghimpun banyak wartawan mumpuni dan memiliki reputasi,  baik dari media nasional maupun media daerah, wajar saja PWI waktu itu menyampaikan usulan anggotanya. Dan menurut saya layak pula usulan seperti itu kembali dilakukan pada saat ini.

Wallahu a’lam bhisawab.

Ciputat 16 Juli 2023

Berita Terkait