Divisi Humas Polri Goes To Campus Universitas Pancasila: Mahasiswa Sasaran Empuk Bandar Narkoba
SEMIOTIKA: BERCENGKRAMA DENGAN TANDA
Oleh: Robby Milana*
Tangerang- mimbar.co.id- Ketika Anda sedang berada di rumah atau kantor, perhatikan lingkungan sekeliling Anda. Kenapa terdapat benda-benda tertentu di atas meja kerja atau di dalam kamar tidur Anda? Kenapa benda-benda itu penting bagi Anda? Kenapa Anda memilihnya dan bukan memilih benda yang lain?
Saya menduga bahwa benda-benda itu Anda pilih bukan karena wujud aslinya, melainkan karena benda-benda itu mewakili sesuatu yang lain – sebuah hubungan antara Anda dengan periode hidup Anda, kenangan Anda, perjalanan yang pernah Anda lakukan, memori terhadap sebuah tempat, dan sejumlah pengalaman lain. Saya menyebut “fungsi” benda-benda yang Anda pilih itu sebagai simbol.
Sekarang mari kita bicara lebih jauh. Pilih satu dari benda-benda tadi itu. Katakanlah sebuah kaos. Perhatikan apakah di dalam kaos itu terdapat kata atau kalimat. Bisa saja hanya terdapat sebuah kata “Singapura” di dalam kaos itu. Namun boleh jadi kata “Singapura” itu jauh lebih berarti bagi Anda dibanding nilai kaosnya. Kata “Singapura” seakan menjadi simbol bahwa Anda pernah ke suatu tempat di masa lalu dan Anda sangat terkesan akan pengalaman masa lalu di tempat itu. Atau kata “Singapura” itu Anda telah asosiasikan sebagai hal yang mewakili gengsi atau image Anda terhadap orang lain yang melihatnya.
Saya ingin mengatakan bahwa di dalam kehidupan kita terdapat kata-kata, benda-benda atau hal-hal lain yang menjadi simbol dalam kehidupan Anda. Mereka mewakili nilai atau arti tertentu dalam pengalaman hidup Anda. Lebih jauh, biasanya simbol-simbol tersebut Anda jadikan sebagai sebuah “representasi” (perwakilan) yang dapat membantu Anda memahami siapa diri Anda dan bagaimana Anda bertindak untuk kehidupan Anda.
Kebanyakan orang tidak peduli dengan persoalan tanda atau simbol-simbol dalam kehidupannya. Mereka hanya ingin hidupnya mengalir seperti arus sungai yang tenang. Namun bagi sebagian kecil orang, keberadaan tanda atau simbol dipelajari dan berusaha dipahami karena dianggap memiliki nilai (value) dan kebajikan (virtue) bagi sesuatu yang diwakilinya. Dalam tradisi komunikasi, orang-orang yang terakhir ini dikategorikan sebagai orang-orang yang senang bercengkrama dengan semiotika.
Simbol dan Tanda
Simbol berbeda dengan tanda. Beberapa pakar mengatakan bahwa tanda memiliki referensi yang jelas terhadap sesuatu, sementara simbol tidak. Misalnya asap yang menandakan adanya api. Asap adalah tanda. Asap bukan simbol.
Dalam kamus Webster (1997), tanda (sign) memiliki arti: Pertama, Sesuatu yang mengindikasikan kenyataan, kualitas dan lain-lain. Contohnya adalah warna hitam sebagai simbol berduka cita. Kedua, Isyarat atau gerak untuk menyampaikan informasi, memberikan perintah dan lain-lain. Contohnya anggukan sebagai tanda setuju.
Adapun simbol (symbol) dalam kamus Webster (1997) dijelaskan sebagai berikut: Pertama, Sesuatu yang menunjukkan, mewakili atau memberi kesan mengenai sesuatu yang lain; sebuah obyek digunakan untuk mewakili sesuatu yang abstrak. Contohnya burung merpati adalah simbol perdamaian. Kedua, Tanda yang tertulis, tercetak, huruf, singkatan dan lain-lain, mewakili sebuah obyek, kualitas, proses, kuantitas dan lain-lain, baik di dalam musik, matematika atau kimia.
Pendeknya, tanda merupakan sesuatu yang mengindikasikan kenyataan; sementara simbol merupakan sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Misalnya kita melihat tanda ™ di samping sebuah produk, maka tanda ™ tersebut merupakan simbol bahwa sebuah produk merupakan merek dagang. Dengan kata lain ™ secara fisik merupakan tanda; sementara secara konseptual merupakan simbol.
Karena kemiripan makna dan penggunaannya, beberapa pakar yang lain menyatakan bahwa tanda dan simbol merupakan tingkat-tingkat istilah yang berbeda dalam kategori yang sama. Dan saya menggunakan kata tanda sebagai bagian dari simbol, atau bisa juga saya menggunakannya secara tumpang tindih untuk menunjukan makna yang sama antara keduanya.
Tanda dalam Kajian Komunikasi
Semiotika menjadi salah satu tradisi dalam teori komunikasi. Tradisi semiotik terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda mewakili (merepresentasikan) benda, ide, keadaan, situasi, perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri.
Semiotika bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana tanda tersebut diciptakan.
Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam sebuah tanda menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotika melihat bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna dalam suatu tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.
Kajian Semiotika
Charles Saunders Pierce mendefinisikan semiotika (dalam bahasa aslinya Pierce menyebutnya dengan semiosis) sebagai hubungan antara tanda, benda dan arti. Setiap kita bertanya pada diri sendiri “apa maknanya tanda itu?” atau pertanyaan “apa maksud dari yang diwakili oleh tanda itu,” maka kita sedang melakukan pertanyaan semiotika. Kita mempertanyakan arti tanda dari sebuah benda.
Menurut Pierce, tanda mewakili benda visual atau fisik. Tanda biasanya memiliki arti. Misalnya tanda berupa huruf “P dicoret” di pinggir jalan, yang berarti dilarang parkir di sepanjang jalan yang memiliki tanda itu. Gambar “P dicoret” adalah benda yang juga adalah tanda. Dan gambar tersebut memiliki arti yang maknanya sudah disepakati secara umum.
Jika Anda sedang berada di jalan lalu Anda melihat tanda “P dicoret” maka Anda tidak akan memarkir kendaraan Anda di dekat tanda itu. Jika Anda tidak parkir, Anda akan dianggap patuh terhadap hukum dan rambu-rambu lalu lintas demi kebaikan Anda sendiri dan kebaikan bersama. Jika Anda membandel parkir, maka Anda akan dianggap sebagai orang yang tidak patuh dan melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan, dan bisa jadi Anda juga dianggap si keras kepala yang dapat mencelakai diri sendiri serta orang lain di jalan raya.
Hampir tidak ada arti lain dari tanda “P dicoret” sebagai rambu lalu lintas. Sehingga mustahil akan muncul multi-intepretasi (ragam penafsiran berbeda). Gambar tanda dilarang parkir pun biasanya diletakan di jalan protokol dan tempat umum yang ramai. Sehingga hampir semua orang akan sepakat bahwa tanda tersebut memang pas pada tempatnya. Asumsinya, supaya jalanan lancar, tidak mengganggu ketertiban umum pengguna jalan.
Sekarang mari kita ambil tanda lain. Misalnya kata anjing. Semua orang sepakat bahwa anjing adalah hewan mamalia yang konon memiliki kecerdasan tinggi, dan karenanya banyak dipelihara manusia. Namun kata anjing mewakili ragam persepsi yang berbeda dari setiap orang yang membaca kata itu atau mendengar kata itu. Ada orang yang langsung tersenyum ketika mendengar kata anjing. Mungkin karena pengalaman di masa lalunya dia pernah dicium oleh seekor anjing lucu di sebuah tempat. Namun ada juga orang yang takut ketika mendengar kata anjing. Bisa saja di masa lalunya dia pernah digigit oleh seekor anjing hingga luka parah, dan kejadian itu meninggalkan trauma di dalam pikirannya. Ada juga orang yang marah ketika mendengar kata anjing, karena bagi sebagian orang kata anjing merupakan sebuah umpatan yang kasar dan merendahkan.
Pada konteks ini, kata anjing sebagai tanda dalam bahasa memiliki ragam intepretasi. Setiap orang bisa memberikan penafsiran yang berbeda terhadap kata itu. Umumnya perbedaan penafsiran muncul karena perbedaan pengalaman orang perorang. Namun bisa juga karena faktor ideologis dan budaya. Bagi masyarakat Muslim, kata anjing umumnya secara otomatis ditafsirkan “haram” di dalam pikiran mereka. Hal tersebut terjadi karena sejak kecil memang sebagian besar masyarakat muslim sudah ditanamkan pengertian bahwa anjing merupakan hewan yang haram. Namun bagi masyarakat Kristen berbeda, anjing tidak dianggap haram sebagaimana anggapan masyarakat Muslim. Penafsiran ini bersifat ideologis. Pada pemahaman ideologi yang berbeda, sebuah tanda akan memiliki penafsiran yang berbeda.
Jika semiotika disimpulkan sebagai ilmu yang mempelajari tanda, maka apa itu berguna untuk kehidupan nyata sehari-hari? Orang yang memahami tanda tentu akan bisa menerka arti dari tanda itu. Cara seseorang berpakaian, apa yang dia makan, kendaraan apa yang dia gunakan, dan lain-lain dapat mewakili bagaimana karakter atau kepribadian orang itu. Itu artinya, Anda sedikitnya bisa mengenali kepribadian seseorang melalui tanda-tanda yang dia gunakan. Ini bermanfaat, terutama jika Anda seorang psikolog, pendidik, atau bahkan sales. Dalam bidang akademis, semiotika tidak jarang juga digunakan untuk memahami warna media massa. Malah tidak sedikit para peneliti yang menggunakan semiotika dalam melakukan kajian politik.
Jika Anda mendalami semiotika, Anda tentu akan segera memiliki persepsi berbeda ketika seseorang mengakhiri tulisannya dengan tanda titik atau tanda pentung (tanda seru). Kata pendek “Duduk.” akan berbeda artinya ketika ditulis menjadi, ”Duduk!” Kata yang pertama (diakhiri dengan tanda titik) umumnya akan didefinisikan sebagai pernyataan biasa. Sementara kata kedua (diakhiri dengan tanda seru) umumnya akan diterjemahkan sebagai perintah. Begitulah tanda bekerja. Ia hampir selalu mewakili sesuatu yang lain.#Robb#
Sumber Bacaan:
- Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009).
- Kurniawan, Semiologi Roland Barthes (Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001).
- Rachmat Krisyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana Prenada, 2006)
*Mahasiswa Program Magister Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta