Renungan HUT Kemerdekaan Ke-78 Republik Indonesia
BAHWA tujuan Bangsa Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan, dengan apik tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Mari Kita renungkan nuansa cita saat bangsa Indonesia merayakan HUT Kemerdekaan ke 78 Republik Indonesia (RI). Apakah tujuan kemerdekaan yang tertuang dalam Preambule UUD 1945 tersebut sudah diwujudkan?
Mari kita perhatikan. para Founding Father, para pejuang, dan tentunya rakyat Indonesia dengan tulus menyerahkan hidup dan matinya menuju Indonesia Merdeka, hal ini semata-mata untuk mewujudkan Negara Indonesiayang berdaulat, Negara Indonesia yang Adil, Negara Indonesia yang Makmur, yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut dalam melaksanakan ketertiban dunia.
Bahwa sejak Negara Indonesia merdeka tahun 1945, tentunya secara formal telah berdaulat terhadap rakyat dan tumpah darah Indonesia.
Lantas, sudahkah Pemerintah RI telah berlaku adil terhadap semua warga negara dan rakyatnya, baik itu Adil secara hukum, adil secara ekonomi, maupun adil secara politik?
Pertama-tama mari kita lihat adil secara hukum, saat ini kekecewaan publik terhadap keadilan bisa kita amati di berbagai media, baik media konvensional, media online, maupun media sosial. Hal ini terfokus terhadap praktik penegakan hukum yang seakan mengkriminalisasi kebebasan berpendapat (berekspresi) warga negara.
Penegakan hukum yang tebang pilih, penegakan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas (tumpul pada para penguasa dan teman koalisinya). Kiasan tersebut menggambarkan bagaimana kondisi nyata struktur dan kultur hukum yang saat ini tumbuh di tanah air kita.
Berikutnya adalah adil secara ekonomi, apakah setiap warga negara sudah mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengais rejeki? Praktik perekonomian negara kita saat ini masih timpang, omong kosong perekonomian negara dijalankan dengan prinsip kekeluargaan.
Ketimpangan ini nampak dari sebagian kecil rakyat yang berpenghasilan sangat tinggi, dan di lain sisi, sebagian besar rakyat berpenghasilan sangat kecil. Sebagian rakyat kita masih terjerembab dalam jurang kemiskinan. Realitanya, hingga saat ini negara belum dapat mengatasinya. Badan Pusat Statistika (BPS) mmencatat jumlah rakyat Indonesia yang miskin mencapai 26,16 Juta jiwa.
Bagaimana pula dengan adil secara politik? Pondasi kebebasan warga negara secara politik sebenarnya sudah terbangun cukup baik sejak reformasi tahun 1998, walaupun belum semuaw warga negara bisa mendapatkan kebebasan dan keadilan secara politik yang juga disebabkan karena cukup banyaknya warga negara kita yang tidak mendapatkan pendidikan yang layak dan hidup dalam kemiskinan.
Namun demikian, menyangkut keadilan secara politik tersebut, perhatian khusus rakyat Indonesia terfokus pada persyaratan pencalonan Presiden RI yang diatur dalam UU Pemilu.
Menyangkut Presidential Treshold, bahwa kita menilai aturan tersebut adalah aturan yang tidak adil, dimana konsekuensinya adalah pembatasan terhadap hak-hak partai politik.
Dimana seorang calon presiden baru bisa dicalonkan apabila diusulkan oleh Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara Nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya (Pasal 222 UU Pemilu).
Bahwa Pasal tersebut secara mendasar, sangat bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak mempersyaratkan batas apapun bagi partai politik yang akan mencalonkan seorang Presiden. Pasal 222 UU Pemilu tersebut idealnya direvisi, Pasal tersebut secara tidak langsung membatasi hak konstitusional partai politik yang sudah lolos sebagai peserta Pemilu.
Perjuangan untuk menempuh Yudicial Review di Mahkamah Konstitusi (MK) atas ketetuan yang tidak adil secara politik tersebut selalu kandas. Aturan tersebut membawa dampak lunturnya prinsip dan menumbuh-kembangkan pragmatisme pada partai-partai politik di Indonesia.
Hari ini kita dapat menyaksikan, bahwa panggung politik tak ubahnya dengan panggung sandiwara. Inkonsistensi dalam mendukung calon Presiden misalnya, hari ini mendukung Ganjar, esok lusa membanting stir dukung Prabowo, atau mungkin sebaliknya.
Terdapat kiasan “daripada tertinggal kereta, maka masuk saja ke gerbong mana saja” atau dapat diartikan “ketimbang partainya tidak punya calon presiden, dukung saja calon presiden mana saja”, Pemilihan Presiden tak ubahnya dengan judi, maka dalam politik hal ini adalah haram hukumnya. Kondisi ini memberi contoh yang tidak baik bagi rakyat dan generasi muda penerus bangsa.
Selanjutnya, apakah Indonesia yang makmur sudah diwujudkan? Tentu belum, karena rakyat kita yang miskin masih banyak. Rakyat Indonesia yang makmur belum tentu sampai 50% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Sebagian besar rakyat Indonesia hidup dalam kondisi yang pas-pasan. Bahwa sebagai bangsa yang telah merdeka selama 78 tahun, perlu kiramya kita renungkan, kenapa bangsa dan negara kita belum dapat mewujudkan tujuan kemerdekaan, terutama yang sangat penting perihal Negara dan Rakyat yang Makmur, majunya kesejahteraan umum, dan cerdasnya kehidupan bangsa.
Kondisi tersebut mencerminkan bahwa Pemerintah tidak berkomitmen untuk mewujudkan cita-cita bernegara. Berkaitan erat dengan kemakmuran, Sumber Daya Alam adalah modal utama Pemerintah untuk bisa memenuhi cita-cita tersebut.
Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dengan tegas mengamanahkan Pemerintah untuk mengelola dengan baik Sumber Daya Alam yang ada di Indonesia.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kiranya kewajiban ini ditunaikan, maka cita-cita kemakmuran Indonesia tidak akan menjadi mimpi disiang bolong.
Tidak dilaksanakannya Pasal ini pun berakibat pada tidak dapat ditunaikannya Pasal 34 ayat (1) UUD 1945.
Kondisi di atas terjadi karena sistem penyelenggaraan negara yang korup, sehingga menumbuhkan mentalitas yang korup juga dalam diri sebagian penyelenggara negara dan birokrasi kita.
Salah satu alasannya, kenapa negara dan rakyat belum makmur, belum terwujudnya kesejahteraan umum, dan belum cerdasnya kehidupan bangsa adalah karena budaya korupsi yang telah menjamur dan sulit untuk diberantas. Negara Indonesia akan bisa mencapai cita-cita bernegara jika tongkat estafet kepemimpinan nasional dipegang oleh orang yang berintegritas.
Bangsa Indonesia menitipkan amanah besar ini kepada Presiden yang terpilih dalam Pemilihan Presiden tahun 2024 mendatang. Untuk menjaga diri dan keluarga, tidak korupsi, tidak menyalahgunakan jabatan, menegakkan supremasi hukum dan dengan tegas dan tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi, menegakkan setiap aspek keadilan, dan mampu mengelola kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia. Untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 23 Agustus 2023
Adv Erman Umar., SH