METROPOLITAN

Peran Pemerintah Masih Dibutuhkan Untuk Mengangkat Harkat dan Martabat Wartawan Indonesia

Oleh : Heru Riyadi, SH. MH.
Dewan Penasehat AMKI Pusat dan LKBH PWI Pusat, Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Banten.

Agar tercapainya hal tersebut diatas dapat dilakukan oleh beberapa pihak, antara lain:

• Pemerintah: Dengan menciptakan kebijakan yang mendukung kebebasan pers dan melindungi hak-hak wartawan, pemerintah dapat berperan penting dalam meningkatkan harkat dan martabat /derajat wartawan.

• Masyarakat: Dukungan masyarakat terhadap karya jurnalistik dan penghargaan terhadap profesi wartawan juga dapat meningkatkan harkat dan derajat mereka.

• Persatuan Wartawan Indonesia (PWI): Sebagai organisasi profesi, PWI dapat berperan dalam meningkatkan kemampuan dan profesionalisme wartawan, serta memperjuangkan hak-hak mereka.

• Media: Dengan memberikan kesempatan kepada wartawan untuk berkembang dan meningkatkan kualitas karya jurnalistik, media dapat membantu meningkatkan harkat dan derajat wartawan.

• Wartawan itu sendiri: Dengan meningkatkan kemampuan dan profesionalisme, serta menjalankan kode etik jurnalistik, wartawan dapat meningkatkan harkat dan derajat mereka sendiri.

Beberapa contoh wartawan terkenal di Indonesia yang telah mengharumkan nama profesi wartawan antara lain :
• Adam Malik: Wartawan Harian Merdeka dan salah satu pendiri LKBN Antara dan pernah menjadi Wakil Presiden RI.
• Harmoko: Wartawan Harian Mimbar Kita dan Merdeka serta pernah menjabat Mentri Penerangan RI.
• Goenawan Mohamad: Pendiri dan mantan pemimpin redaksi Majalah Berita Tempo yang juga penulis puisi dan esai.
• Leila S. Chudori: Wartawan Tempo yang juga penulis novel dan skenario film.
Dan masih ada yang lain, penulis mohon maaf tidak dapat menyebut semuanya.

Di tengah arus informasi yang kian deras dan kompetitif, wartawan tetap memegang peran sentral sebagai penjaga kebenaran, penyalur informasi, dan pilar utama demokrasi. Namun, apakah kita sebagai bangsa dan sebagai individu sungguh-sungguh menghargai profesi ini sebagaimana mestinya?

Bayangkan suasana di Gedung Putih, Washington DC, atau di Kantor Perdana Menteri Inggris di Downing Street. Setiap kali ada pertemuan pers, suasananya selalu tertib, profesional, dan penuh penghormatan terhadap para jurnalis. Mereka diposisikan sebagai mitra, bukan pelengkap acara. Mikrofon disiapkan, kursi disusun, pencahayaan diatur dengan baik. Bukan semata-mata demi estetika, melainkan sebagai bentuk penghargaan atas profesi mereka dan sebagai cermin dari budaya bangsa yang menghargai tata pergaulan sipil.

Lalu, mari kita tengok realitas yang terjadi di tanah air. Wartawan-wartawan istana—mereka yang setiap hari meliput kegiatan Presiden dan pemerintahan pusat—seringkali terlihat duduk di luar pagar istana, bahkan di lantai, hanya demi bisa menyimak informasi atau pernyataan resmi yang disampaikan lewat layar televisi. Sebuah pemandangan yang mengusik nurani: di negeri sendiri, di pusat kekuasaan republik ini, para jurnalis tidak diberi ruang dan tempat yang layak untuk menjalankan tugasnya.

Ironisnya, pemandangan ini tak ubahnya seperti suasana di ruang kedatangan Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, yang merupakan pintu masuk negara dan wajah pertama bangsa kita di mata dunia. Di sana, sering terlihat penumpang yang baru tiba—termasuk jemaah umrah—duduk bersila di lantai, makan dari kotak nasi bungkus, menikmati makanan Padang dengan tangan kosong, tanpa alas, tanpa meja, di tengah lalu lintas manusia yang ramai. Sebuah potret yang mencerminkan bukan hanya kekurangan fasilitas, tapi juga kurangnya kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga martabat publik.

Apakah ini karena keterbatasan anggaran? Ataukah lebih dalam lagi—kita mengalami krisis nilai? Krisis dalam memahami apa itu rasa hormat, penghargaan terhadap profesi, dan bagaimana membangun peradaban yang bermartabat?

Profesi wartawan adalah profesi mulia. Dalam situasi krisis sekalipun, para jurnalis tetap bekerja—mencari kebenaran, mengungkap realitas, menyampaikan fakta. Mereka adalah saksi sejarah dan pengantar kesadaran publik. Maka ketika kita sebagai bangsa tidak menyediakan ruang yang layak bagi mereka, maka yang direndahkan bukan hanya profesi wartawan, tetapi juga martabat kita sendiri.

Inilah saatnya kita bertanya lebih dalam: Apakah kita telah membangun masyarakat yang memiliki nilai dan norma sosial yang benar? Apakah kita memiliki rasa hormat terhadap profesi dan tugas yang dijalankan dengan dedikasi tinggi?

Tentu, tugas ini tidak hanya berada di pundak wartawan atau masyarakat, tetapi juga pada pihak-pihak yang memiliki otoritas, termasuk Istana. Juru Bicara Presiden, Sekretariat Negara, dan seluruh aparat komunikasi pemerintah harus mulai memikirkan ulang bagaimana cara mereka membangun relasi yang sehat dan terhormat dengan media. Bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi menciptakan ruang yang menghargai mereka yang berperan menyampaikannya.

Bangsa yang besar bukan hanya dilihat dari kekuatan militernya atau kemajuan ekonominya, tetapi dari cara ia memperlakukan orang-orang yang menjaga integritas dan akal sehat publik. Wartawan adalah bagian dari itu.

Memberikan mereka ruang yang layak, tempat yang terhormat, dan akses yang memadai adalah langkah kecil yang mencerminkan kematangan budaya dan peradaban kita.

Mari kita mulai membenahi dari hal-hal yang tampak sepele, namun sesungguhnya mencerminkan nilai yang sangat dalam: rasa hormat. Sebab dari sanalah kehormatan bangsa kita bisa tumbuh bukan hanya di mata dunia, tapi juga di mata kita sendiri.

Mengangkat martabat Wartawan sekaligus merupakan menjaga kehormatan bangsa itu sendiri.

Related Articles

Back to top button