Pakar Hukum Tata Negara UGM Ingatkan Sistem Proporsional Tertutup Ibarat Beli Kucing dalam Karung

 Pakar Hukum Tata Negara UGM Ingatkan Sistem Proporsional Tertutup Ibarat Beli Kucing dalam Karung

JAKARTA–Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari secara resmi telah meminta maaf atas pernyataannya tentang sistem pencoblosan Pemilu 2024 yang kemudian menimbulkan perdebatan.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM menyayangkan “kegenitan” Ketua KPU tersebut.

Pernyataan Ketua KPU tentang adanya judicial review (JR) atau pengujian Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) di Mahkamah Konstitusi, khususnya terkait dengan penerapan sistem proporsional terbuka, terus memancing perdebatan.

MK mengkaji kemungkinan diberlakukannya kembali sistem proporsional tertutup, seperti yang pernah dipergunakan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999.

Indonesia pernah menjalankan pemilu sistem proporsional tertutup pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, Pemilu 1999 dan 2004. Sistem proporsional terbuka sudah dijalankan pada Pemilu 2009, 2014 dan 2019.

Zainal Arifin Mochtar memahami jika masalah yang cukup sensitif tersebut kemudian menimbulkan perdebatan di ruang publik. Dalam pernyataannya yang disampaikan kepada media, Sabtu (14/1/2023).

Ketua Departemen Hukum Tata Negara di FH UGM mengisyaratkan tentang kecenderungan masyarakat yang tetap menghendaki sistem proporsional terbuka.

“Kondisilah yang menjawabnya,” ujar Zainal Arifin Mochtar, mengisyaratkan tetap tingginya kecenderungan atau potensi sistem proporsional terbuka.

Mengurai sistem proporsional terbuka dan tertutup, Pakar Hukum Tata Negara UGM ini menegaskan jika keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kendati demikian, Zainal Arifin Mochtar juga menjelaskan tentang hak demokratis masyarakat untuk mencoblos calon anggota legislatif yang dikehendakinya, dengan berbagai pertimbangan antara lain kemampuan dan integritasnya.

“Jadi tidak sekadar membeli kucing dalam karung, seperti di sistem proporsional tertutup di mana partai yang lebih berhak menentukan calon anggota legislatifnya,” ungkap Zainal Arifin Mochtar.

Terkait bahwa selama ini masyarakat lebih memilih nomor urut di samping partai, Zainal Arifin Mochtar juga mencontohkan hasil riset yang dilakukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan menyimpulkan bahwa 60% calon anggota legislatif terpilih berdasarkan nomor urut.

Zainal Arifin Mochtar juga menegaskan, apa pun sistem yang dipakai, yang terpenting juga adalah bagaimana penegakan hukumnya. Penerapan sistem proporsional terbuka tetap membutuhkan peran publik, karena publik ingin mengetahui calon anggota dewan yang harus dipilihnya.

Penegakan hukum wajib dijalankan, untuk membuat berbagai pembatasan, termasuk jor-joran dalam penggunaan uang atau dana kampanye.[*]

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar