Mitos Supremasi Laki-Laki Atas Perempuan Dalam Islam

 Mitos Supremasi Laki-Laki Atas Perempuan Dalam Islam

Catatan Menyambut Hari Perempuan Sedunia

Oleh Andi Mapperumah

HARI ini, 8 Maret 2021 diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional atau Hari Perempuan Sedunia. Diperingati sebagai hari perayaan kesetaraan gender dalam berbagai bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan.

Pada hari ini berbagai kelompok belahan dunia mengkampanyekan emansipasi dan kesetaraan perempuan. Perempuan pantas dan berhak mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari stigma negatif, stereotypes, bebas dari kekerasan, dan bebas dari bias ideologi patriarki (laki-laki sebagai superior).

Secara historis, perayaan hari perempuan sedunia dilatarbelakangi banyak tekanan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Perempuan mendapat perlakuan tidak adil. Dianggap sebagai makhluk kelas dua dan menempatkan laki-laki sebagai makhluk utama dan pertama yang memiliki kekuasaan penuh terhadap perempuan. Kenyataan ini membuat sejumlah perempuan tergerak untuk melakukan kampanye perubahan untuk menempatkan perempuan dalam hubungan yang setara dengan laki-laki di berbagai sektor kehidupan.

Berkaitan dengan Hari Perempuan Sedunia yang diperingati hari ini, saya ingin mengupas bagaimana kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam Islam. Perempuan sesungguhnya mempunyai kedudukan yang setara dengan laki-laki. Sejak abad 14 yang lalu, Alqur’an telah menghapuskan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, bahkan Alqur’an memandang sama kedudukan laki-laki dan perempuan.

Namun dalam perjalanan sejarah, pesan ketuhanan yang termaktub dalam Alqur’an dan pesan kenabian yang termaktub dalam Hadist, mengalami penafsiran yang melenceng dari pesan moral Islam yang memberi kedudukan terhormat bagi kaum perempuan yang setara dengan kaum laki-laki.

***

Harus diakui, sejarah peradaban manusia adalah sejarah peradaban kaum laki-laki. Dominasi peran laki-laki dalam setiap roda sejarah hampir pasti dikatakan sebagai keniscayaan sejarah (historical necessity). Bahkan dipercaya sebagai suatu hal yang kodrati. Ini diperkuat oleh justifikasi tafsir teologis dari semua agama bahwa laki-laki memang memiliki nilai supremasi (keunggulan) daripada kaum perempuan. Dari sudut pandang sosial-kultural juga dikonstruksi sedemikian rupa laki-laki memiliki nilai lebih dalam segala hal dibandingkan perempuan.

Cara pandang tersebut mentradisi dan menyejarah di etase sejarah peradaban manusia. Sementara perempuan dalam kurun waktu ratusan tahun berada dalam posisi subordinasi dan termarjinalisasi dalam alur perjalanan sejarah. Perempuan dipandang sebagai makhluk powerless (tidak memiliki kekuasaan) dalam segala hal dan dalam mengambil tindakan. Perbuatan atau tingkah laku mereka harus dilakukan berdasarkan aturan main yang diatur oleh ideologi patriarki, yang secara teologis, sosiologis, dan kultur diyakini sebagai makhluk powerfull.
Ideologi patriarki ini dicirikan bahwa laki-laki itu kuat, cerdas, rasional, dan superior. Sedangkan perempuan adalah makhluk yang lemah, bodoh, irasional, dan inferior. Ideologi ini hidup, berkembang dan dianut sebagai paradigma untuk standarisasi tingkah laku, kedudukan dan relasi laki-laki dan perempuan dalam aktifitas kehidupan.

Ketika dulu Benazir Bhutto terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan pada pemilihan umum 16 November 1988, sekonyong-konyong mata dunia Islam terbelalak tak percaya. Bagaimana mungkin negara Islam Pakistan dipimpin oleh seorang perempuan, bukankah itu menyalahi kodrat dan aturan main” sejarah ? bahkan
mereka seakan secara serentak menghujat “Sungguh mengerikan! belum pernah sebuah negara muslim diperintah oleh seorang perempuan”, Dengan mengutip Hadist, mereka mengutuk peristiwa terscbut sebagai “melanggar hukum alam” dan menurut mereka penanganan masalah rakyat di negeri-negeri muslim merupakan hak istimewa dan monopoli kaum laki-laki sepenuhnya.

Contoh kasus tersebut merupakan realitas sejarah bahwa eksistensi perempuan, meskipun sesungguhnya memiliki kemampuan, belum diakui dan mendapatkan tempat dalam bidang sosial-budaya, dan politik. Stereotype laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan sebagai yang dipimpin, laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai kaum yang dinafkahi, serta berbagai stereotype lainnya, dipandang sebagai hal yang kodrati atau ketentuan Tuhan, sehingga bila peran itu bergeser dianggap melanggar kodrat.

Semua pihak harus memahami perbedaan antara kodrat dan gender sehingga dapat menciptakan keadilan dalam hubungan antara lelaki dan perempuan.

Islam adalah agama yang mengajarkan sekaligus paling kuat mendukung keadilan gender. Kodrat merupakan anugerah Tuhan yang tidak bisa dibuat, sementara gender adalah buatan manusia yang bisa diubah.

Sebagai contoh, kodrat perempuan adalah memiliki rahim dan melahirkan. Sedangkan mengurus anak adalah konsep gender. Artinya bisa dilakukan oleh lelaki dan perempuan. Mencari nafkah juga merupakan gender di mana lelaki dan perempuan dapat melakukannya.

Agama yang Seksis

Para pejuang kesetaraan gender, hampir seluruhnya bersepakat bahwa agama, terutama agama yang diwahyukan -Islam, Yudaisme dan Kristen- adalah agama yang seksis. Artinya bahwa agama-agama tersebut adalah agama dengan citra Tuhan yang laki-laki dan kepemimpinan laki-laki yang pada ujungnya mensahkan superioritas laki-laki, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.

Padahal, agama adalah unsur utama pembentukan kesadaran sosial dan determinan atas berbagai tradisi yang ada di masyarakat. Dengan demikian, superioritas laki-laki mendapat justifikasi dari agama.

Ketidakadilan yang dijustifikasi agama adalah pangkal pelemahan dan subordinasi terhadap perempuan. Karena itu rekonstruksi terhadap ajaran ajaran tradisional agama adalah hal mutlak dilakukan untuk sejauh mungkin mengeliminasi perbedaan status yang demikian tajam antara perempuan dan laki-laki yang telah hidup dan melembaga selama ribuan tahun.

Harus diakui bahwa agama (baca: Islam) hadir di tengah pergumulan realitas sosial kultur masyarakat yang didominasi oleh kaum laki-laki. Karena itu dapat dipahami bahwa tafsir atas pesan ketuhanan dan pesan kenabian yang muncul tidak bisa terlepas dari bias kelaki-lakian. Hal ini misalnya dapat dilihat dalam hukum keluarga Islam, dalam hukum waris, dan berbagai tafsir keliru terhadap Hadist yang menempatkan istri harus taat tanpa syarat kepada suami.

Masih banyak contoh lainnya yang mengindikasikan bahwa tafsir Hukum Islam dalam beberapa hal tentang hukum keluarga tercemar oleh bias patriarkal. Dampak dari itu terbawa kepada persepsi keliru memandang subordinat perempuan dalam kehidupan masyarakat.

Pada persoalan seperti inilah yang acapkali digugat oleh para penganut kesetaraan gender. Perlunya ditinjau kembali klaim-klaim keliru sebagai ajaran agama yang meletakkan laki-laki lebih supremasi daripada perempuan. Gugatan ini perlu dilakukan mengingat ketimpangan relasi, posisi dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam ajaran agama akan memberikan implikasi dalam lapangan sosial, budaya, politik dan lain sebagainya.

Gagasan dasar yang perlu dibangun adalah bagaimana menciptakan hubungan yang equal (setara) antara perempuan dengan laki-laki. Hubungan ini tidak dengan serta merta dapat dilakukan karena harus melalui proses panjang perjuangan. Untuk menciptakan hubungan tersebut hal pertama dan utama yang harus dilakukan adalah bagaimana mendekonstruksi nilai-nilai yang menempatkan laki-laki pada posisi yang dominan, hegemonik dan suprematif.

Usaha ini akan berhasil manakala lahir dari kesadaran bersama laki-laki dan perempuan untuk mampu membangun hubungan mitra kesejajaran, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan dalam segala bidang.

Kesadaran bersama itu harus lahir berdasarkan persepsi yang sama tentang persoalan yang harus didekonstruksi. Laki-laki dan perempuan dihadapan Tuhan sesungguhnya adalah setara, namun ketika pesan ketuhanan dan kenabian itu mewujud dalam bentuk ajaran agama, maka melahirkan penafsiran yang timpang dalam melihat hubungan laki-laki dan perempuan.

Agama Yahudi memandang perempuan sebagai makhluk yang tidak sempurna. Doktrin gereja memandang bahwa kelahiran manusia di dunia membawa dosa turunan dari akibat ulah Siti Hawa yang menggoda Adam. Dalam agama Islam, bias patriarkis mewabah dalam berbagai penafsiran, sehingga melahirkan penafsiran yang diskriminatif dalam hal relasi, kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan.

Begitu pula pengaruh budaya, misalnya di Jawa, perempuan dianggap sebagai konco wingking (teman di belakang). Di beberapa daerah lain, umpatan kotor sering dinisbahkan kepada ibu atau perempuan. Ini semua dipengaruhi persepsi rendah kaum laki-laki terhadap perempuan.

Perlunya Konstruksi Tafsir Baru

Umumnya, argumen supremasi laki-laki atas perempuan dalam Islam didasarkan pada QS al-Nisa’:34 yang bunyinya : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin (qawwamun) bagi kaum perempuan). Penafsiran klasik mengupas dan menekankan ketidaksejajaran antara laki-laki dan perempuan. Imam Al-Thabari dalam tafsirnya menekankan kata qawwamun adalah penanggung jawab. Ini berarti bahwa laki-laki bertanggungjawab dalam membimbing perempuan agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada suami.

Ibnu Abbas menafsirkan kata qawwamun adalah pihak yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan. Selanjutnya Imam Al-Zumakhsyari menafsirkan bahwa laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahy al mukar kepada wanita sebagaimana penguasa kepada rakyatnya.

Berdasarkan pendapat tersebut, terlihat bahwa laki-laki adalah penanggungjawab, penguasa, pemimpin, penjaga dan pelindung kaum perempuan.
Dari penafsiran tersebut sangat jelas bahwa laki-laki memiliki superioritas dari perempuan. Karena itu, secara otomatis laki-laki atau suami berkewajiban untuk memimpin keluarga. Perempuan harus menerima posisi suami tersebut.

Argumentasi Penafsiran para mufassir seperti tersebut di atas pada umumnya sangat bias laki-laki dan diskriminatif gender. Penafsiran demikian lahir dalam sebuah ruang dan waktu di mana posisi perempuan secara sosial – kultural sangat subordinatif dan marginal. Penafsiran klasik yang demikian sesunguhnya tidak relevan lagi pada konteks sekarang.

Berbagai pemikir Muslim kontemporer hadir kepermukaan dan melakukan dekonstruksi penafsiran Alqur’an yang berwajah diskriminatif dan pincang. Fazlur Rahman (1983), seorang tokoh pencetus neo modernisme Islam berusaha menafsirkan QS al-Nisa’ : 34 secara proporsional. Menurutnya, perbedaan laki-laki dan perempuan bukanlah perbedaan hakiki melainkan fungsional. Artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri, baik karena warisan maupun karena sendiri, dan memberikan sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang karena sebagai seorang manusia ia tidak memiliki keunggulan dibandingkan isterinya.

Sejalan dengan Fazlur Rahman, Amina Wadud Muhsin (1992), menegaskan bahwa kalimat Laki-laki adalah qawwamun bagi perempuan tidak dimaksudkan bahwa superior itu melekat pada laki-laki secara otomatis, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Alqur’an: memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi laki-laki tapi juga perempuan.

Asghar Ali Engineer (1994) menulis bahwa pernyataan Alqur’an, laki-laki adalah qawwamun bagi perempuan, sesungguhnya merupakan pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, umumnya perempuan berada pada posisi yang sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap kewajiban perempuan. Sementara laki-laki menganggap dirinya lebih unggul karena kekuasan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan.

***

Islam bukan agama yang diskriminatif, tapi pemahaman yang salah atas teks-teks Islam seringkali melahirkan pandangan yang diskriminatif. Kondisi itu terjadi antara lain karena penafsiran atas teks-teks Islam tidak dilakukan oleh perempuan akibat konstruksi sosial yang menempatkan peran dan fungsi perempuan hanya di area domestik.

Sudah saatnya ulama perempuan tampil dan meluruskan pemahaman terhadap ayat-ayat yang selama ini dipahami secara keliru. Perempuan lebih berhak menafsirkan hak-hak dan kewajibannya daripada laki-laki karena lebih memahami. Perempuan berhak mengeksplore pandangan agamanya, bukan hanya didominasi laki-laki.

Perempuan makhluk ciptaan Allah yang paling unik. Sebab, keberadaannnya memberikan andil yang sangat besar bagi kehidupan manusia. Tanpa perempuan, maka tidak akan ada pemimpin-pemimpin besar dunia. Tanpa perempuan, tidak akan ada penemuan-penemuan mutakhir untuk kesejahteraan umat manusia.

Karena itulah, Allah pun secara khusus memberikan satu surah khusus didalam Alquran dengan nama surah An-Nisaa’ (wanita-wanita). Penghargaan ini tidak diberikan kepada laki-laki. Ini menunjukkan, betapa mulianya seorang perempuan. Sayangnya, dalam banyak kenyataan, perempuan masih ditempatkan sebagai second line. Tugas di dapur, di sumur, dan di kasur.

Laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama (sederajat). Kemuliaan laki-laki dan perempuan tidak dinilai dari kekuasaan atau tinggi rendahnya jabatan yang disandang, melainkan karena kemuliaannya. Inna akramakum ‘indallahi Atqakum (QS. Al-Hujurat : 11)”.

Pada zaman sekarang, dimana jarum jam sejarah bergerak secara evolutif, perubahan demi perubahan terjadi, sehingga memungkinkan perempuan berada pada posisi setara dengan laki-laki.
Dengan demikian perempuan tidak lagi diperlakukan sebagai makhluk sekunder
(secundary creation) yang tugasnya hanya mengatur keluargan, suami dan anak. Sebab sesungguhnya peran tersebut bukan sifat alamiah perempuan. Norma norma feminim yang melekat pada perempuan seperti pengasuh, pasif, dan penerima adalah sifat yang dikulturkan oleh sistem patriarkis.

Kulturisasi norma feminin dilanggengkan oleh sistem ini agar perempuan dapat terus direndahkan dan dianggap makhluk kelas dua. Perempuan hari ini harus melepaskan diri dari norma-norma itu agar mereka dapat menentukan eksistensinya sendiri dengan berpijak pada semangat egaliterisme Alqur’an, yang memandang laki-laki dan perempuan berada pada pigura kemanusiaan yang sama.

Pada konteks sekarang, dalam memasuki era kesetaraan sangat perlu dirumuskan kembali metodologi tafsir yang komprehensif dan tepat yang terbebas dari bias-bias ideologi patriarkal. Melahirkan tafsir baru yang mampu menangkap pesan moral ketuhanan dan kenabian. Sehingga posisi, fungsi, dan peran laki-laki dan perempuan sama-sama berpijak di atas altar peradaban manusia dan kemanusiaan yang sama. Wallahu a’lam bish-shawab.***

#HappyWomensDay

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar