Masyarakat Akuakultur Indonesia Tolak Rencana Pemerintah Jepang Buang Limbah Nuklir Ke Samudera Pasifik
JAKARTA – Masyarakat Akuakultur Indonesia (Indonesia Aquacultur Society) dan Gerakan Nelayan Tani Indonesia) menolak rencana pemerintah Pemerintah Jepang untuk membuang limbah nuklir dari bekas Rektor Nuklir Fukhushima ke Samudera (Lautan) Pasifik.
“Kami menolak rencana tersebut, dengan alasan limbah cair nuklir mengandung radioaktif Tritium, Cesium-137, dan Carbon-14,” ujar Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat
Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI), Prof. Dr. Rokhmin Dahuri, MS dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa (27/6).
Menurut TEPCO (Tokyo Electric Power Company), jelasnya, bahwa limbah cair nuklir yang akan dibuang tersebut mengandung Cesium-137 dengan kadar (konsentrasi) sebesar 18.000 becquerel per kilogram.
Kadar sebesar ini 180 kali lipat lebih besar dari ambang batas konsentrasi Cs-137 yang dibolehkan di dalam ekosistem laut.
“Oleh karena itu, limbah cair nuklir ini akan membahayakan ekosistem laut dan mematikan ikan dan biota laut lain yang hidup di dalamnya,” tandasnya.
Limbah nuklir (radioaktif) ini akan masuk ke dalam sistem rantai makanan, yang akhirnya akan terakumulasi di dalam jaringan tubuh manusia yang mengkonsumsinya.
Seperti yang telah menimpa korban limbah nuklir (radioaktif) bom atom Sekutu di Kota Hiroshima dan Nagasaki; dan limbah nuklir dari Reaktor Nuklir Chernobyl.
“Dampak limbah nuklir itu memakan korban jiwa ribuan manusia, dan dampak berbagai jenis penyakit, terutama kanker dan mutasi genetic, yang bersifat jangka Panjang kepada manusia yang terpapar limbah radioaktif tersebut,” tuturnya.
Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan, mengingat waktu paruh radioaktif ini sangat lama, dan limbah nuklir ini akan terbawa oleh arus dan gelombang laut ke seluruh laut dunia.
Maka ini tidak hanya akan membahayakan kehidupan bangsa di sekitar lokasi pembuangan, tetapi juga bangsa-bangsa lain di dunia. “Mayoritas negara-negara di sekitar Samudera sudah menolaknya,” ungkapnya.
“Sesungguhnya ada alternative tekonolgi lain pembuangan nuklir yang lebih aman secara lingkungan hidup maupun kesehatan manusia,” sambung Prof. Rokhmin Dahuri.
Senada disampaikan Denny D Indrajaya, Sekjen MAI, bahwa pembuangan limbah sudah ada sistemnya. “Dimasukkan tangki-tangki yang begitu kedap yang tidak bisa tercemari sampai ribuan tahun, dipendam di dasar laut. Artinya kenapa itu tidak dilakukan. Apalagi teknologi sekarang saya yakin lebih maju,” ujar Denny.
Dia mengaku pernah belajar ekonomi lingkungan di Australia, bahwa semuanya bisa diperhitungkan. Antara kepentingan lingkungan yang sangat ekstrem dan kepentingan ekonomi, apapun harus untung.
“Kita mencari titik tengah antara ekonomi lingkungan bagaiman?. Ekonomi bisa untung dan lingkungan bisa aman,” jelasnya.
Artinya, kata Denny, Jepang harus mempertimbangkan kembali. Maka, kalau Jepang membuang limbah nuklir sama saja bunuh diri. Kita yang kena, baik negara-negara tetangga juga seluruh dunia.
“Karena kita tahu limbah nuklir itu terurainya lebih ribuan tahun. Radio aktif itu tidak mudah terurai secara alami. Seperti Chernobyl saja kita lihat puluhan tahun, itupun jadi kota mati,” tandasnya.
Sementara itu, Sekjen Gerakan Nelayan Tani Indonesia (GNTI), M. Amma Bonapon mengatakan, imbasnya akan merugikan perikanan tangkap, juga para petani.
“Kami komitmen akan mengawal soal isu yang berkembang saat ini,” kata Amma Bonapon. | Rls