METROPOLITAN

Komisi VI DPR Revisi RUU Perlindungan Konsumen Untuk Untuk Lindungi Konsumen

Jakarta, mimbar.co.id – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Adisatrya Suryo Sulistio menegaskan bahwa pembaruan Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjadi sangat mendesak mengingat dinamika dunia usaha dan perilaku konsumen yang semakin kompleks, terutama di era digital dan perdagangan daring (e-commerce).

Hal ini disampaikan Adi usai melakukan kunjungan kerja Komisi VI DPR RI ke Semarang, Jawa Tengah, dalam rangka menyerap aspirasi dan masukan dari Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Lutfi, dan para ahli hukum dari Universitas Diponegoro, Badan Perlindungan Konsumen Jawa Tengah, Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen (LPSK) Semarang, serta beberapa pihak terkait lainnya di Semarang, Jawa Tengah, Rabu (12/11).

“Kami hari ini mengunjungi Semarang, bertemu dengan Bapak Gubernur Jawa Tengah, akademisi dari Universitas Diponegoro serta pihak terkait lainnya. Masukan-masukannya sangat bagus dan akan menjadi bahan berharga untuk memperkaya RUU Perlindungan Konsumen yang saat ini Tengah kami bahas di Komisi VI,” ujar Adi.

Adi menilai, undang-undang yang berlaku saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi terkini. “UU Perlindungan Konsumen terakhir direvisi tahun 1999, artinya sudah 26 tahun. Sementara dunia usaha dan perilaku konsumen sudah berkembang jauh, apalagi dengan hadirnya e-commerce yang kini semakin besar. Sehingga harus dilakukan penyesuaian regulasi, sebagai respon terhadap dinamika tersebut.

“Selama ini dunia usaha sudah maju, tapi masih banyak praktik di ranah digital yang merugikan konsumen. Karena itu, pembaruan Undang-Undang ini sangat-sangat urgent, untuk memberikan perlindungan konsumen yang lebih kuat lagi, sehingga tercipta keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan konsumen,” paparnya.

Politisi dari fraksi PDI Perjuangan ini menjelaskan berbagai masukan yang sangat penting mengemuka dalam pertemuan tersebut, diantaranya terkait sosialisasi hak-hak konsumen, perjanjian baku yang sering merugikan konsumen, serta mekanisme pengaduan yang lebih jelas dan mudah diakses.

Adi mencontohkan sistem pengaduan di Tiongkok yang sudah diatur dengan ketat, bahkan memberikan sanksi tegas bagi produsen yang melanggar. Seperti adanya hotline pengaduan bagi konsumen yang merasa dirugikan, dan ada target waktu yang ditetapkan bagi produsen untuk merespon aduan atau complain konsumen tersebut.

“Bahkan, di China (Tiongkok) untuk produsen yang tidak merespon aduan dalam jangka waktu yang ditetapkan akan dikenakan penalty dengan sanksinya jelas. Seperti harus membayar sepuluh kali lipat dari nilai harga barang, hingga sampai pencabutan lisensi atau ijin beroperasi.  Dengan sanksi yang tegas tersebut, tentunya pelaku usaha akan lebih berhati-hati dan menjaga kualitas atau mutu dari produk atau jasa yang diberikan atau dijualnya,”tambahnya.

Intinya, lanjut Adi, RUU Perlindungan Konsumen ini selain unuk melindungi konsumen, namun juga tidak merugikan pelaku usaha itu sendiri. Pasalnya, tidak bisa dipungkiri, tidak semua konsumen melakukan pengaduan karena merasa dirugikan, namun terkadang mencari celah untuk “mengerjai” produsen. Dengan adanya RUU Perlindungan yang baru nanti diharapkan konsumen dapat terlindungi hak-haknya, dan pelaku usaha pun dapat terus berinovasi dengan baik dan kreatif tanpa merasa dirugikan. Sehingga perekonomian akan terus tumbuh dengan sehat. 

Related Articles

Back to top button