Ketua PWI Pusat : Indonesia 2045 Harus Dimulai Dari Mimpi
JAKARTA – Semua yang ada di dunia ini harus diawali dengan mimpi. Para tokoh muda harus bermimpi untuk Indonesia 2045.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum PWI Pusat Atal S Depari saat membuka Seminar 100 Tahun Indonesia Jilid II “Mimpi Tokoh Muda untuk Indonesia 2045”, yang berlangsung di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Jalan Medan Merdeka Selatan nomor 17, Jakarta Pusat, Rabu (18/12/2019) pagi.
Ketua Umum PWI Pusat, Atal S. Depari, dalam pidato pembuka, menyatakan PWI merasa penting untuk membuat seminar tersebut karena di 100 tahun kemerdekaan, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dengan jumlah penduduk usia produktif paling tinggi.
Jika usia 100 tahun Indonesia itu tidak dipersiapkan matang, lanjut Atal, maka warga Indonesia yang tidak produktif akan jauh lebih besar dan itu berarti kemunduran bagi Indonesia di tengah era globalisasi dan digitalisasi yang makin maju.
“Periode 100 tahun ini tinggal 26 tahun lagi. Setiap periode kepemimpinan harus berkontribusi untuk menghadapi bonus demografi ini,” tegasnya.
Menurut Atal, untuk seminar seri kedua hari ini terbilang agak unik dan spesial, karena yang PWI hadirkan dalam seminar adalah tokoh-tokoh muda wanita pilihan.
“Insya Allah pemikirannya memberikan persepsi positif buat kita untuk hadapi 2045 mendatang. Dan di sini bukan hanya pembicaranya yang wanita tapi moderatornya juga wanita. Saya kira Anda sudah kenal semua Tina Talisa,” ucap Atal.
Para narasumber yang menjadi pembicara dalam agenda diskusi tersebut adalah Wakil Gubernur Lampung, Chusnunia Halim, Wali Kota Batu, Dewanti Rumpoko, Bupati Jember, Faida, dan peneliti politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth.
Sementara itu menurut Adriana, kebanyakan generasi muda terutama milenial yang lahir di atas tahun 1980, mempunyai ciri energik, dinamis, kreatif, dan selalu berpikir out of the box.
“Ide mereka kadang aneh, tapi kita senang juga. Walaupun ada ciri yang tidak baik dari generasi muda milenial terutama yang kadang ambigu, karena mereka multi talenta. Semua itu harus kita lihat untuk mengarahkan generasi muda Indonesia ke depan seperti apa,” ujar Adriana.
Dia menjelaskan sejumlah tantangan besar yang akan dihadapi Indonesia ke depan, yang terlihat jelas adalah penguasaan teknologi modern. “Teknologi sudah di depan kita. Tapi di sisi lain kita juga punya SDM yang jauh lebih buruk dari yang bisa kita bayangkan terutama di Papua. Kita harus pikirkan pelayanan publik sampai ke ke kampung-kampung,” jelasnya.
Adriana juga mengatakan betapa penting Indonesia membangun peradaban baru selain menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek). Pembangunan strategi peradaban baru dan penguasaan Iptek harus mengarah kepada pemenuhan kesejahteraan rakyat.
“Penguasaan Iptek juga harus memiliki etika. Spiritualitas itu kita dapatkan dari pelajaran budi pekerti dan pendidikan keluarga di rumah karena religius saja tidak cukup. Penting untuk menerima perbedaan orang lain, bukan sekadar toleransi tapi menerima perbedaan,” tambahnya. (rls)