EKBIS

Kaderisasi Pengukir dan Iklim Usaha Ukiran Jepara Harus Menjadi Perhatian Bersama

SENJA di Kota Ukiran kian pudar, begitu pula industri mebel dan ukiran yang dulu menjadi kebanggaan, kini perlahan-lahan kehilangan kejayaannya.

Di sebuah sudut bengkel kayu yang berdebu, tangan pria tua masih lincah mengukir pola di atas sebongkah kayu jati.

Cahaya sore menerobos masuk melalui jendela yang terbuka, menyorot butiran serbuk kayu yang melayang di udara. Suara pahat beradu dengan kayu kini tak lagi berirama seperti dulu.

Bengkel yang dulu ramai dengan suara palu dan celoteh para pengrajin, kini lebih sering sunyi.

Tak ada lagi tawa kegembiraan di antara para pekerja. Lesu mengiringi langkah sebagian dari mereka, tertatih menapaki masa depan.

Beberapa tahun lalu, industri mebel dan ukiran di Jepara masih menjadi kebanggaan. Setiap hari, truk-truk kontainer hilir-mudik membawa hasil karya pengrajin ke pelabuhan untuk diekspor ke berbagai negara.

Pesanan dari kawasan Eropa dan Amerika mengalir deras. Jepara bukan hanya dikenal di Indonesia, tapi juga di dunia.

Kabupaten Jepara yang terletak di ujung Provinsi Jawa Tengah terkenal sebagai pusatnya seni ukir dunia. Bahkan Kabupaten Jepara mendapatkan sebutan sebagai “World Carving Center”.

Di masa kejayaannya, Jepara berdasarkan buku, ”Atlas Industri Mebel Kayu, CIFOR, 2007,” memiliki lebih dari 15.271 unit produksi yang aktif dan menciptakan nilai ekonomi antara Rp 11.900 – 12.300 miliar per tahun​.

Setiap rumah di kota ini seperti bagian dari sebuah “pabrik raksasa”, di mana tangan-tangan terampil menciptakan karya seni ukir indah dari kayu. Namun, kini segalanya berubah.

Pengrajin Semakin Berkurang

Jika dulu setiap keluarga memiliki pengrajin, sekarang jumlahnya semakin sedikit. Data terbaru menunjukkan hanya tinggal sekitar 7.000 orang yang masih bertahan di industri ini​.

Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang telah bekerja sejak puluhan tahun lalu.

Sementara itu, anak muda lebih memilih meninggalkan Jepara, mencari pekerjaan di kota besar.

Ukiran Jepara atau seni ukir Jepara adalah seni ukir khas yang berasal dari Jepara. Jepara yang terkenal dengan sebutan Kota Ukir, kini berubah menjadi Kota Ukir Dunia.
Ukiran Jepara atau seni ukir Jepara khas yang berasal dari Jepara sangat terkenal dengan sebutan Kota Ukir.

Lebih dari 60% pengrajin yang tersisa kini berusia di atas 40 tahun​. Tanpa regenerasi, keahlian ini akan semakin langka.

Dulu, seorang anak laki-laki pasti belajar mengukir sejak kecil, tapi sekarang, minat itu hampir tidak ada lagi.

Sejumlah pemuda lebih memilih menjadi pegawai pabrik sepatu, garmen dan sebagainya dengan pendapatan tetap tiap bulannya.

Bahan Baku Sulit Didapat

Tidak hanya soal regenerasi, bahan baku juga menjadi masalah yang kian pelik. Kayu jati dan mahoni, yang selama ini menjadi andalan industri mebel Jepara, semakin mahal dan sulit diperoleh.

Konsumsi kayu bulat di Jepara sebelumnya mencapai 1,55 hingga 2,2 juta m³ per tahun​. Namun, dengan semakin terbatasnya pasokan kayu berkualitas, harga bahan baku melonjak, membuat banyak pengrajin kecil tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar yang membeli dalam jumlah besar.

Sementara itu, banyak pembeli dari luar negeri yang lebih memilih furnitur dengan bahan lain yang lebih murah, seperti MDF atau plastik.

Ini semakin mempersempit pasar bagi pengrajin tradisional yang masih setia pada kayu solid berkualitas tinggi.

Pasar Semakin Bergeser

Selain masalah bahan baku dan regenerasi, tren pasar juga berubah. Dahulu, ukiran Jepara menjadi simbol kemewahan dan eksklusifitas.

Pembeli rela menunggu berbulan-bulan untuk satu set meja makan berukiran rumit.

Sekarang, selera pasar lebih condong ke desain minimalis yang lebih sederhana. Produk yang bisa diproduksi massal dengan mesin lebih disukai karena lebih cepat dan lebih murah.

Banyak perusahaan besar di Jepara akhirnya beralih ke produksi berbasis mesin, meninggalkan ukiran tangan yang membutuhkan waktu lebih lama.

Bagi mereka, efisiensi dan biaya produksi yang lebih rendah adalah kunci bertahan di pasar global.

Para pengrajin tradisional yang masih bertahan kini menghadapi dilema, apakah mereka harus mengikuti arus dengan beralih ke produksi massal, atau tetap mempertahankan nilai originalitas, kehalusan ukiran serta muatan filosofi tinggi khas Jepara di dalamnya.

Di tengah situasi tersebut, ada secercah harapan yang muncul. Pada 9 hingga 23 Maret 2025, Jepara akan menggelar Jepara Buying Week, sebuah acara yang diharapkan bisa menghidupkan kembali gairah industri mebel di kota ini.

Pintu ukir gebyok jati Jepara sangat diminati.
Pintu ukir gebyok jati Jepara.

Acara ini bukan hanya sekadar pameran. Ini adalah momentum emas bagi pengrajin untuk bertemu dengan pembeli potensial, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Ini juga menjadi momen penting untuk lebih fokus dan memperkenalkan kembali ukiran Jepara sebagai warisan budaya yang harus dijaga.

Langkah Nyata untuk Masa Depan

Jika Jepara ingin kembali berjaya, maka perlu ada strategi yang lebih besar dan lebih berkelanjutan.

Pendidikan kejuruan bisa menjadi salah satu solusi. Sekolah-sekolah di Jepara perlu mengajarkan keterampilan ukir sejak dini agar anak-anak muda mengenal dan menghargai seni ini.

Jika ada regenerasi, maka masih ada harapan untuk mempertahankan keahlian ini di masa depan.

Selain itu, digitalisasi harus mulai diterapkan. Banyak pengrajin masih bergantung pada showroom fisik dan perantara untuk menjual produknya.

Padahal, di era digital seperti sekarang, mereka bisa langsung menjual karya mereka ke pasar global melalui platform seperti Etsy, Amazon, atau marketplace khusus furnitur.

Dukungan pemerintah dan kebijakan yang berpihak juga sangat penting. Program bantuan modal usaha bisa membantu pengrajin kecil bertahan.

Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat

Kemudahan akses bahan baku juga harus menjadi prioritas agar mereka tidak kesulitan mendapatkan kayu berkualitas dengan harga yang wajar.

Lebih dari itu, masyarakat sendiri harus mulai sadar akan pentingnya mendukung produk lokal. Jika kita terus mengutamakan produk impor, maka tidak heran jika industri ukiran Jepara semakin terpinggirkan.

Dalam perspektif tokoh perempuan Indonesia yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengungkapkan, pelestarian seni ukir di Jepara, Jawa Tengah sangat mendesak dilakukan agar warisan budaya luhur bangsa itu tidak hilang ditelan jaman.

“Kaderisasi pengukir dan pengembangan iklim usaha ukir di Jepara harus jadi langkah bersama,” kata Lestari Moerdijat yang biasa disapa Rerie.

Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Tengah II (Kabupaten Demak, Jepara dan Kudus) juga menyebutkan upaya kelompok masyarakat terus dilakukan agar seni ukir Jepara mendapat perhatian lebih, seperti halnya dengan menggelar Jepara Buying Week 2025, lomba ukir dan sebagainya.

Untuk itu, Rerie mengajak seluruh elemen masyarakat dan para pemangku kepentingan di Jepara, bersama-sama untuk menyelamatkan dan membangun kembali eksistensi seni ukir Jepara yang sudah melegenda.

Seperti yang dikatakan Proklamator Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya.”

Jika kita ingin mempertahankan Jepara sebagai pusat ukiran dunia, maka kita harus mulai dari sekarang.

Menurut perempuan energik ini, kita masih punya waktu untuk bertindak. Bukan hanya untuk menyelamatkan industri ini, tapi juga menjaga warisan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

“Jika seni ukir Jepara hilang, kita kehilangan lebih dari sekadar sebuah industri. Kita kehilangan identitas, sejarah, dan kebanggaan yang telah dijaga dan diwariskan nenek moyang kita dulu selama berabad-abad. Dan itu adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi. Saatnya satukan hati, jiwa dan plikiran untuk pelestarian seni ukir dunia Jepara,” tambah Ririe. (Penulis: Novranto Huntua)

Foto: Istimewa

Related Articles

Back to top button