Industri Kelapa Sawit Masih Menjanjikan

 Industri Kelapa Sawit Masih Menjanjikan

JAKARTA – Prospek sektor minyak sawit masih tetap positif. Hal ini disebabkan permintaan minyak sawit dunia dalam lima tahun terakhir, rata-rata tumbuh sebesar 9.92 persen.

Tahun 2018 lalu, dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 12 juta hektar, “Indonesia mampu memproduksi minyak sawit sebesar 47 juta ton. Dari jumlah produksi tersebut, 34,7 juta ton terserap di pasar ekspor,” kata

Ketua Umum GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Joko Supriyono,, dalam seminar pengembangan industri kelapa sawit menuju kemandirian energi, yang diselenggarakan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) di Ayana Midplaza Hotel Jakarta, Rabu (27/3/2019).

Meski menjanjikan, namun banyak hal yang harus dibenahi untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dunia tersebut. Lebih jauh Ketua Umum GAPKI menjelaskan, Indonesia masih sulit mengembangkan industri minyak sawit karena berbagai persoalan baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan persoalan tersebut disebabkan oleh hal-hal mendasar misalnya perbedaan definisi deforestasi antara NGO asing dengan defisini seperti termaktub dalam peraturan perundangan di Indonesia.

“Definisi Barat, memotong pohon itu deforestasi. Tapi berdasarkan UU Kehutanan, deforestasi adalah perubahan status kawasan,” ujarnya.

Inilah yang membuat sawit kerap mendapatkan tudingan negatif. Padahal sawit sudah di tanam di areal di luar kawasan hutan, tetapi tetap dianggap melakukan deforestasi, ungkap Joko.

Sementara itu, Duta Besar RI untuk Polandia 2014 – Januari 2019, yang juga anggota dewan kehormatan PWI, Peter F Gontha, menyebut pemerintah sudah menunjukkan diplomasi untuk memenangkan kepentingan nasional menyangkut industri kelapa sawit ke dunia luar.

“Harusnya seluruh komponen masyarakat bisa lebih bersatu untuk kampanye mengenai pentingnya palm oil demi kepentingan nasional yang lebih besar. Apalagi hari Kamis besok, Parlemen Eropa akan mengambil keputusan mengenai Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II (RED II) yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 lalu”, ungkap Peter.

Lanjutnya, rancangan peraturan tersebut bertujuan untuk membatasi dan secara efektif melarang penggunaan biofuel berbasis kelapa sawit di negara-negara Uni Eropa melalui penggunaan konsep Indirect Land Use Change (ILUC). Kriteria yang digunakan pada rancangan peraturan tersebut secara langsung difokuskan pada minyak kelapa sawit dan deforestasi.

Kemudian, Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Dono Boestami memaparkan, konsistensinya mendukung program peremajaan sawit petani yang mulai aktif berjalan sejak beberapa tahun lalu.

Dono menyebut program yang dijalankan lembaganya yaitu sarana prasarana untuk melengkapi program yang telah berjalan antara lain biodiesel, replanting, promosi, dan riset.

“Implementasi Program Wajib Biodiesel juga membantu menghasilkan pekerjaan di industri biodiesel serta di sektor perkebunan kelapa sawit. Dan ini meningkatkan permintaan CPO, menstabilkan harga CPO dan Harga Tandan Buah Segar (TBS). Program ini juga bukan hanya sekedar penanaman kembali pohon sawit yang baru tetapi juga termasuk aspek legalitas, pemberdayaan petani, sertifikasi, serta aspek lain yang tujuanya untuk peningkatan produktifitas dan kesejahteraan petani,“ papar Dono.

Pembicara lainnya, Pemimpin Umum Warta Ekonomi Muhamad Ihsan menyebutkan, perlunya sikap nasionalisme media bagi Indonesia. Tren atau kecenderungan pemberitaan yang kontra (bernada negatif) sawit dinilai Ihsan sudah menurun, sebaliknya kecenderungan pemberitaan yang konstruktif (bernada positif) kepada sawit semakin bertambah.

Lanjutnya, media semakin menemui titik keseimbangan baru pemberitaan yang konstruktif untuk sawit. “Untuk itu, media perlu mempertahankan kredibilitas ketika memberitakan tentang sawit, terutama ketika memihak kebenaran tentang realitas kelapa sawit,” kata Ihsan.

Selain itu anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo melihat sudut pandang media-media di Indonesia dalam mengelola kepentingan nasional masih harus dibenahi.

“Dibanding  negara tetangga, misalnya Thailand, mereka lebih siap mengelola pemberitaan ketika ada kegentingan dalam negeri. Benar bahwa kebebasan pers tidak berdiri sendiri dan juga tidak perlu menutupi fakta. Namun harus  juga mempertimbangkan dampak terhadap kemakmuran publik, kemiskinan, kesejahteraan bersama, serta  hak asasi manusia,”ungkap Agus.

Lanjutnya, melalui seminar ini, PWI ingin mengeratkan  kerjasama maupun kolaborasi dengan para pelaku industri, dalam hal ini yang diwakili oleh GAPKI (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) sebagai langkah jangka panjang dan strategis.

us menyebutkan, sejalan dengan misi yang diembannya, PWI memiliki peran strategis untuk turut mendukung dan meningkatkan perekonomian Indonesia.  Begitu juga peran industri kelapa sawit yang banyak memberikan kontribusinya kepada masyarakat dan negara.

Media atau wartawan paham terhadap industri ini, begitu pula sebaliknya industri juga paham akan peranan pers dalam membangun Indonesia.

Menko Bidang Kemaritiman RI, Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi keynote speaker dalam seminar ini menyatakan, seminar ini hendaknya dapat membangkitkan nasionalisme kita.

PWI dan GAPKI Bersama-sama mempertahankan kepentingan nasional demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. “Saya mengajak seluruh wartawan dan komponen pers yang hadir di acara ini untuk bahu membahu membela kepentingan Indonesia,”ujarnya.

Luhut menyebutkan, melalui industri sawit yang dijalankan pemerintah saat ini, ekonomi Indonesia akan terus bertumbuh dan menatap optimis masa depannya. Bahkan di tahun 2030 – 2050, Indonesia diproyeksikan menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-5 di dunia,” tambahnya.(rls/van)

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar