Harga Cabai Tembus Rp120 Ribu Per Kilogram, Kowantara Minta Pemerintah Stabilkan Harga

 Harga Cabai Tembus Rp120 Ribu Per Kilogram, Kowantara Minta Pemerintah Stabilkan Harga

JAKARTA – Harga sejumlah kebutuhan pokok mengalami kenaikan di beberapa pasar di Jakarta. Termasuk harga cabai yang belakangan ini meroket hingga membuat sejumlah penjual makanan kepedasan.

Sejak Sabtu (11/06), harga cabai rawit merah di pasar tradisional di DKI Jakarta pada Sabtu terpantau masih tinggi hingga mencapai Rp120 ribu per kilogram sejak beberapa hari terakhir.

Berdasarkan data Informasi Pangan Jakarta yang diakses pada Sabtu (11/6) pukul 15.00 WIB, harga tertinggi cabai rawit merah mencapai Rp120 ribu per kilogram di Pasar Kalibaru, Jakarta Utara.

Meski masih tinggi, Info Pangan Jakarta mencatat terjadi penurunan harga mencapai Rp1.755 per kilogram jika dibandingkan pada Jumat (10/6).

Mukroni, ketua Koperasi Warteg Nusantara (Kowantara) mengatakan bahwa anggotanya mengeluhkan kenaikan harga cabai yang belakangan ini harganya tidak terkendali. Hal itu dirasakan oleh Mukroni sejak lebaran Idul Fitri, kenaikan harga cabai terjadi perlahan-lahan.

“Biasanya habis lebaran harga-harga melandai karena sudah selesai pesta gitu kan. Ini malah naik. Jadi seperti anomali. Harga-harga pada naik, seperti cabai sampai 120 ribu per kilogram, telur sampai Rp 30 ribu. Ya kami berharap kepada pemerintah untuk menstabilkan harga bahan pokok, karena mereka yang memiliki regulasi,” kata Mukroni saat ditemui di Jakarta, Kamis (16/6), siang.

Menurut Mukroni pemerintah seharusnya bisa menentukan harga eceran tertinggi (HET) atas dan bawah, dari situ nanti kita bisa bandingkan, supaya petaninya tidak rugi dan pedagangnya juga mampu.

“Ini kan istilahnya menjual pada masyarakat bawah, ya pendapatannya pas-pasan, apalagi habis pandemi kan. Kalau ingin terjangkau ya itu tadi, bahan-bahan pokok ya harus terjangkau juga oleh konsumen kita,” ucapnya.

“Kadang kala siklus kenaikan harga ini tidak wajar, yang menyebabkan kita susah menjual. Missal cabe, tadinya di Warteg biasanya kan menawarkan, ‘mas ini ada sambel’. Nah sekarang kan susah. Jadi sekarang pembeli bertanya, ‘mas ada sambalnya gak?’. Jadi dengan adanya kenaikan harga cabai otomatis mengurangi pelayanan,“ kelakar Mukroni.

Walau demikian Mukroni masih menganggap wajar jika ada kenaikan harga, tetapi ia berpendapat jika kenaikan itu terjadi tidak langsung tinggi, sehingga baginya sangat mengganggu pendapatan dan pelayanan.

“Melonjaknya terlalu tinggi, itu yang tidak kita harapkan.” sambungnya.

Lebih lanjut, Mukroni berpendapat bahwa kenaikan harga cabai yang terjadi di beberapa daerah terjadi karena ada faktor lain, seperti curah hujan yang begitu tinggi atau faktor alam lainnya yang menyebabkan ketersediaan cabai jadi berkurang.

“Sebenarnya ini kan siklus mata rantai tergantung daerah, tapi ini hampir semua (Nasional). Ada sesuatu yang menyebabkan harga cabai naik. Apakah siklus alam atau apa gitu saya tidak tahu persis. Ini kondisi yang menyebabkan barang jadi sedikit, sehingga harganya mahal. Mungkin juga musim hujan terlalu tinggi,” ungkap Mukroni.

Mukroni berharap pemerintah bisa segera menstabilkan harga bahan pokok agar pelaku usaha makanan di Jakarta dan sekitarnya tidak terganggu roda ekonominya.|rls

Berita Terkait

Tinggalkan Komentar