
DPR Dorong Pemerintah Ikuti Kesuksesan Brasil dalam Membangun Ekosistem Bioetanol Terintegrasi
Jakarta, mimbar.co.id – Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendorong Pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) dapat mengambil contoh sukses dari Brasil dalam pengembangan ekosistem bioetanol terintegrasi di dalam negeri untuk percepatan menuju energi bersih dan ketahanan energi nasional.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Adisatrya Suryo Sulisto mengungkapkan, Brasil yang baru saja menyelesaikan hajatan sebagai tuan rumah Konferensi Perubahan Iklim ke-30 PBB (COP30) telah memberikan contoh sukses dalam membangun ekosistem bioetanol terintegrasi.
Sementara itu, Indonesia dengan kebutuhan yang tinggi terhadap sumber daya energi dan berkomitmen mewujudkan energi bersih melalui Net Zero Emission (NZE) 2060, perlu segera melakukan percepatan transformasi transisi dari energi dengan jejak emisi tinggi menuju energi ramah lingkungan.
“Brasil ini merupakan contoh sukses di dunia sebagai pengembang ekosistem bioetanol terintegrasi. Indonesia perlu belajar untuk mengambil pelajaran sukses itu agar dapat diterapkan di dalam negeri. Saya rasa Pemerintah dapat melakukan dorongan pengembangan ekosistem energi ramah lingkungan ini melalui Pertamina.” ujar Adisatrya, pada Sabtu (22/11/2025).
Sebagaimana diketahui, Brasil khususnya wilayah Belem di kawasan Amazon didapuk sebagai lokasi COP30 pada 10-21 November 2025. Acara tersebut menjadi semakin relevan diselenggarakan di Negeri Samba, karena Brasil memiliki predikat sebagai salah satu negara yang sukses menghadapi masa transisi energi.
Adisatrya menambahkan, selama lima dekade terakhir, Brasil membuktikan dirinya sebagai laboratorium raksasa bagi bioenergi dunia. Di saat banyak negara masih merumuskan peta jalan transisi energi, Brasil bergerak jauh di depan dengan menciptakan ekosistem bioetanol yang terintegrasi, dari kebun tebu dan jagung, pabrik biorefinery, hingga jaringan distribusi, dan jutaan kendaraan flex-fuel yang memenuhi jalanan negara di benua Amerika Latin itu.
“Brasil kini menjadi salah satu negara dengan penggunaan bioetanol terbesar di dunia. Bahkan produsen etanol terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Indonesia jelas punya potensi yang tidak kalah besar. Tinggal bagaimana upaya kita untuk mengoptimalkan potensi itu,” tegas Adisatrya.
Brasil mencatat total produksi etanol menembus rekor tertinggi pada 2024 lalu, mencapai 36,83 miliar liter. Merujuk data UNICA (asosiasi industri tebu Brasil) angka produksi etanol 2024 naik 4,4% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di Brasil, etanol utamanya berbasis dari tebu, juga jagung. Luas lahan untuk etanol hanya 1% dari seluruh area Brasil.
Seluruh SPBU di Brasil menjajakan bahan bakar dengan berbagai campuran etanol. Bahkan pemain besar seperti Shell ikut meramaikan penjualan bahan bakar eceran dengan bioetanol. SPBU Shell di Brasil menawarkan bioetanol E30, E100, di samping bensin dengan tambahan aditif etanol.
Menurut Adisatrya, seluruh kendaraan bermotor di Brasil bisa menenggak bioetanol, bahkan sampai E100. Mobil beredar seluruhnya bisa menyesap minimal E30, sedangkan modifikasi mobil impor agar sesuai, terbilang cukup murah. Artinya, tidak ada kendala dari sisi permintaan. Maka isu terkait kualitas maupun kesiapan teknologi, hampir nihil.
Presiden COP30 Brasil, Andre Correa do Lago, sebelumnya menegaskan bioetanol sebagai “senjata negara berkembang” dalam menghadapi krisis iklim.
Menurutnya, bioetanol memiliki biaya produksi yang relatif rendah dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, berbeda dengan teknologi tinggi berbiaya besar yang umumnya ditawarkan negara maju. Tercatat, Bioetanol Brasil mencapai pengurangan jejak karbon sebesar 70% hingga 82% dibandingkan dengan bensin, dan mencapai hingga 90% dalam kondisi optimal.
Indonesia, lanjut Adisatrya, bisa seperti Brasil. Kesuksesan penerapan biodiesel Negeri Samba dapat menjadi acuan. Kekayaan alam tidak sekadar menopang ekonomi komoditas, melainkan pula jadi sumber bahan bakar ramah lingkungan yang sangat dibutuhkan sekarang ini.
Bioetanol tidak melulu tebu. Limbahnya berupa molase hingga bagase juga bisa diolah. Apapun yang mengandung selulosa tinggi, bisa jadi etanol. Baik sumber pangan maupun non pangan seperti jerami. Di Brasil etanol utamanya berbasis dari tebu, juga jagung. Luas lahan untuk etanol hanya 1% dari seluruh area Brasil.
Menurut Adisatrya, hanya perlu konsistensi kebijakan buat Indonesia meniru sukses bioetanol seperti di Brasil. Keanekaragaman hayati sebagai feed stock, ekosistem pengolahan, rangsangan pasar merupakan satu ekosistem. Muaranya adalah kebijakan.
Berkaca dari sukses Brasil, terdapat kesinambungan kebijakan yang digagas sejak 1975. Tidak ujug-ujug Brasil bisa memproduksi sekitar 36,83 miliar liter etanol dan ditingkatkan 50 miliar liter dalam beberapa tahun ke depan.
Semuanya butuh infrastruktur kebijakan. Pada 1975, Brasil mula-mula meresepkan paket kebijakan Proalcool (Pro Alkohol). Paket kebijakan yang dikenal sebagai RenovaBio pun diluncurkan Brasil pada 2017 untuk merangsang pasar dan industri semakin besar memanfaatkan biofuel.
RenovaBio memungkinkan Dewan Energi mendorong pelaku sektor transportasi dan energi untuk meningkatkan penggunaan biofuel. Mekanisme RenovaBio tidak seperti Proalcool yang mengimingi insentif, melainkan memaksa para pelaku industri memenuhi kuota dekarbonisasi melalui penggunaan biofuel.
Karena itu, Adisatrya berharap pemerintah dapat mengeluarkan payung hukum kebijakan yang mengikat untuk implementasi mandatori pencampuran 10% etanol (E10) ke dalam BBM jenis bensin secara nasional. “Harapannya kebijakan etanol ini mencakup ketentuan terkait harga produksi, standar produk, kepastian pasokan dan harga jual yang kompetitif. Ini agar mengakselerasi pengembangan dan pemanfaatan bahan bakar ramah lingkungan, untuk menekan emisi dan memperkuat ketahanan energi,” ungkapnya.
Adisatrya menegaskan kerja sama bilateral Indonesia- Brasil khususnya di bidang energi dapat dioptimalkan untuk mendorong pengembangan bioetanol di dalam negeri. “Ini merupakan langkah yang baik. Tidak hanya mencerminkan tekad Indonesia untuk memperdalam kemitraan strategis, tetapi juga upaya Indonesia untuk penguatan energi di bidang keberlanjutan,” tutup Adisatrya.




