Guru Besar IPB: Ada yang Janji Netral di Hadapan Bakal Capres, Tetapi Diingkari
Jakarta – Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University Rokhmin Dahuri mengundang para akademisi dan tokoh nasional untuk berdikusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (14/11) yang mengangkat tema Menyelamatkan Demokrasi dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik.
Rokhmin mengaku sangat khawatir terhadap kondisi kehidupan berbangsa dalam dua bulan belakangan, sehingga pria bergelar profesor itu mengundang para tokoh untuk berdiskusi.
“Jujur saya mengundang bukan atas lembaga apa pun, tetapi atas nama pribadi rakyat Indonesia yang sangat concern dan sangat memperhatikan dan mengkhawatirkan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam dua bulan terakhir ini,” kata dia saat menyampaikan pidato pembuka diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa.
Rokhmin mengatakan para tokoh dan akademisi yang hadir pas diskusi punya tujuan sama, yakni mewujudkan Indonesia menjadi negara maju, adil, dan berdaulat.
Dia mengatakan, majunya sebuah bangsa dan negara bisa tercapai apabila kehidupan berdemokrasi tidak dicederai.
Hanya saja, kata Rokhmin, demokrasi di Indonesia yang baru tahap prosedural, makin terlihat turun setelah muncul sebuah putusan dengan nuansa drama dari Mahkamah Konstitusi (MK).
“Kami sepakat, syarat kemajuan sebuah bangsa adalah pada terlaksananya sistem dan kehidupan berdemokrasi. Kalau setahun terakhir ini kita mencermati, bahwa demokrasi sejak reformasi ini baru tahap prosedural, belum substansi, sekarang lebih parah lagi, terutama dengan drama korea yang terjadi di MK. Kita tahu semua bahwa itu adalah pemaksaan kehendak,” kata politikus senior PDI Perjuangan itu.
Adapun, tokoh yang hadir dalam diskusi ialah para pakar hukum tata negara seperti Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar atau Uceng, dan Refly Harun.
Diskusi yang sama juga menghadirkan peneliti LIPI Ikrar Nusa Bakti, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid, hingga budayawan Romo Magnis Suseno.
Rokhmin mengaku terkesan dengan langkah para tokoh demi mewujudkan demokrasi di Indonesia ke arah positif setelah muncul putusan bernuansa drama dari MK.
Semisal, katanya, Uceng hingga Romo Magnis yang membuat tulisan di media massa nasional yang mengkritisi putusan MK.
Dia bahkan mengaku ikut mengikuti pernyataan budayawan Goenawan Mohamad dalam sebuah wawancara eksklusif di sebuah stasiun televisi.
Dari hasil wawancara itu, Rokhmin menganggap penyematan BEM UI pada 2022 lalu kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) soal king of lipservice memang benar adanya.
“Romo Magnis menyebut demokrasi dibajak oleh oligarki, oleh dinasti politik, oleh korupsi. Kita berkumpul dalam rangka mencegah kebangkrutan negara ini. Saya kira, saya tadinya agak was-was, tapi setelah mendengarkan hampir 30 menit wawancara eksklusif Rosiana Silalahi dengan pak Goenawan Mohamad, saya menjadi yakin betul bahwa kawan kita ini benar-benar seperti disematkan BEM UI tahun lalu, bahwa he is king of lipservice atau king of big liar,” katanya.
Toh, kata Rokhmin, Jokowi pada akhirnya hanya mengungkap janji manis kepada para bakal capres ketika kepala negara akan berlaku netral pada Pilpres 2024 RI.
“Bagaimana kalau negara sebesar ini dipimpin oleh pembohong. Sekarang kita tahu, baliho capres tertentu diturunkan. Jadi, janji manis waktu mengumpulkan tiga capres, ya, kan, di Istana Negara bahwa dia akan berlaku netral, pada pelaksanaannya, malam hari sudah dia ingkari dengan Wamendes mengumpulkan apa namanya gerakan politik. Jadi, saya kira negara ini terlalu mahal, rakyat kita terlalu kasihan untuk jatuh miskin kalau dipimpin pembohong,” katanya.
Rokhmin mengatakan pekerjaan rumah kepala negara di sektor ekonomi dan teknologi masih banyak ketimbang mengurusi perpolitikan.
Semisal, pendapatan perkapita Indonesia yang tak sebanding dengan jumlah penduduk dan kekayaan alam melimpah di Tanah Air.
“Secara ekonomi, sebanarnya enggak baik-baik amat karena kalau secara korelatif, kan, harusnya ekonomi kita terbaik keempat kalau penduduk kita terbesar keempat, resource kaya, tetapi lihat di sini, kita hanya di rangking 16 hanya USD 1,3 Triliun. Jadi, kalau USD 1,3 Triliun, dibagi 278 juta penduduk, kita ketemunya pendapatan perkapita USD 4.580. Itu Indonesia hanya berkategori sebagai negara berpendapatan menengah atas, tetapi di jajaran bawah, karena pendapatan menengah ke atas itu dari USD 4.466 sampai USD 15 ribu. Kita baru 4.580. Jadi, menengah atas di posisi bawah. Kalau kita mau klaim sebagai negara maju makmur, pendapatan per kapita itu harus USD 13.845. Jadi, dalam bahwa Aceh-nya, masih jauh panggang dari api,” kata Rokhmin.
Rokhmin kemudian menyoroti pekerjaan rumah dari sisi perkembangan teknologi yang membuat Indonesia hanya dipandang sebagai negara kelas tiga.
“Teknologi kita pun masih kelas tiga. Artinya suatu bangsa kebutuhan teknologi lebih dari 70 persen impor. Kalau negara maju atau teknologi inovator country, itu lebih dari 70 persen teknologi diproduksi negara sendiri,” katanya.
Kemudian, kata Rokhmin, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak sesuai target yang seharusnya mencapai setidaknya 7 persen.
“Pertumbuhan ekonomi yang rendah, memang kita harus tumbuh at least seven persen. Mungkin yang menjadi relevan adalah penyebab kita itu masyarakat terbelah, zaman 2019 itu kadrun vs kampret, sekarang itu Paman Usman vs demokrasi. Tepuk tangan bagi kita yang mau mengalahkan Paman Usman,” kata Rokhmin.
“Jadi sejak zaman SBY sampai 2019 kita hanya tumbuh 5 persen, menurut ekonom ini parah. Potensi Indonesia seharusnya 8 persen,” katanya.
Selain itu, kata Rokhmin, jurang kesenjangan di Indonesia begitu lebar antara si kaya dan miskin dan membuat negara menjadi terburuk ketiga.
“Ini kesenjangan Indonesia dalam kaya dan miskin terburuk ketiga di dunia. Di mana satu persen orang terkayanya menguasai 46 persen kekayaan negara. Dan ini yang brutal bahwa kekayaan empat orang itu sama dengan 46 persen penduduk, kemudian 0,2 persen penduduk Indonesia yang terkaya itu menguasai 66 persen dari total luas lahan di Indonesia,” kata dia.