NASIONAL

Ombudsman Media

Catatan Hendry Ch Bangun

Salah satu kewajiban perusahaan pers yang disebutkan dalam Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers, yang baru dikeluarkan pada awal tahun ini, adalah memiliki Ombudsman. Apakah Anda sudah tahu, silakan membaca dan memahaminya.

Untuk media yang ingin mendaftarkan diri untuk diverifikasi, ini adalah keharusan. Untuk media yang sudah berstatus terverifikasi (Administrasi dan Faktual), ada tenggang waktu satu tahun menyesuaikan diri. Tapi ingat, ada uji petik. Kalau Anda sial dan menjadi salah satu media yang dicek, apabila belum memiliki, bisa jadi status hilang.

Bagi media-media besar Ombudsman sudah menjadi semacam kewajiban walaupun tidak ada ketentuan soal itu. Tujuannya tidak lain agar media itu “nyambung” dengan audiens mereka, tidak hidup di menara gading dan asyik sendiri dengan agendanya tanpa memperhitungkan aspirasi pemangku kepentingan.

Saya pernah menghadiri satu sesi ketika Ombudsman di media tempat saya bekerja dan mengetahui apa dan bagaimana makna dari pertemuan itu. Intinya, pengelola media menerima masukan secara langsung dari orang yang ditunjuk untuk mengawasi mereka.

Saya jadi ingat ketika dulu Gubernur Ali Sadikin menjadikan Lembaga Bantuan Hukum sebagai mata dan telinganya, selain media, untuk mengetahui kekurangannya dalam membangun Jakarta. LBH dibiayai untuk mengritik Pemda, agar pembangunan berimbang antara perencanaan Eksekutif dan kenyataan yang dilihat di lapangan oleh  masyarakat.

Ombudsman di media kami itu kira-kira sama keadaannya. Mereka diberikan uang lelah untuk membaca dan mengikuti pemberitaan. Kemudian sebulan sekali diundang untuk mengritik dan memberi pandangan tentang sudut pandang dan bentuk pemberitaan, dengan contoh-contoh. Mereka itu menyelaraskan apa yang ditampilkan di media dengan visi, nilai-nilai perusahaan, yang kadang karena rutinitas atau lalai, menjadi kebablasan atau serong ke kiri dan ke kanan.

Mungkin kalau diibaratkan servis ban, kegiatan ini semacam spooring dan balancing. Jadi supaya ban itu sendiri normal, lalu perkakas “pengikat” ban dikembalikan ke fungsi normal, sehingga kita menyetir di jalan apalagi dengan kecepatan tangan, kendaraan terkendali.

Saya belum pernah menyaksikan adegan pertemuan pengelola media dan ombudsmannya di media lain atau menonton praktik kerja Ombudsman di media nasional ataupun media di luar negeri. Tapi saya kira kurang lebih sama. ***

Sebelum keluar peraturan ini, keberadaan Ombudsman di sebuah media hanyalah berbentuk imbauan walau sudah banyak yang memilikinya. Melalukan diseminasi informasi soal ini perlu sedikit usaha karena tidak semua pengelola media, termasuk boss-nya mengerti apa dan bagaimana kedudukan Ombudsman di media mereka. Tidak hanya di media kecil dan mandiri, tapi juga media besar yang berada di grup besar.

Biasanya kami yang dulu melakukan verifikasi administrasi dan faktual, memberikan penjelasan dengan sederhana, supaya tidak salah faham.

Salah faham pertama, Ombudsman dikira penasehat hukum. Lalu kami jelaskan, kuasa hukum itu tujuannya adalah untuk mewakili media apabil ada somasi, pengaduan, dari masyarakat yang merasa dirugikan dengan pemberitaan. Ini juga sekarang wajib dimiliki, kalau dulu tidak perlu yang tetap, cukup bersifat adhoc, apabila ada kasus.

Kuasa hukum memang perlu, kadang dengan dicantumkan namanya, audiens yang berangasan, entah itu pejabat publik, ormas, organisasi-organisasi, berpikir dua kali untuk berlaku ugal-ugalan. Juga kalau kasus pers dijadikan kasus pidana dan perdata, bukan mengikuti prosedur yang ditetapkan dalam Undang-Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers.

Salah faham kedua, dikira Ombudsman tempat parkir pensiunan wartawan di media itu. Ya sebenarnya kalau ada beberapa—sebaiknya ganjil—boleh salah satunya adalah mereka yang pernah menjadi bagian dari pengelola. Karena pensiunan biasanya kritis. Lalu dia dapatkan meluruskan kredo jurnalisme dan jurnalistik, dan memberi perhatian pada penerapan kode etik jurnalistik di media itu.

Tetapi dua orang lagi misalnya tokoh masyarakat dan cendekiawan perguruan tinggi. Bagi media lokal kehadiran tokoh adat, tokoh agama, pemuka yang dihormati warga setempat, akan membuat medianya dipandang kredibel. Sekaligus dapat menyerap aspirasi warga tempatan, agar berita yang disajikan sebanyak-banyak mewakili kepentingan lokal. Termasuk dalam hal ini soal sudut pandang. Jangan melulu meneruskan kepentingan pusat dan melupakan hal-hal yang menunjukkan sudut padang atau kearifan lokal.

Sementara cendekiawan—maaf, bukan pengamat—akan memberikan masukan luar biasa dalam menjadikan berita sebuah media terlihat berkualitas intelektual. Tidak sekadar informasi apa adanya, informasi searah dari pihak ataupun lembaga yang ingin menonjolkan presyadinya, atau bahkan kepentingan kepala daerah dan perangkatnya. Tetapi informasi berbobot, yang lengkap dan kritis, memberikan perspektif atau solusi, angle-nya kepentingan publik, sehingga dihargai para pihak sekalipun berbeda pendapat.

Melihat dari sisi ini maka kedudukan Ombudsman dalam sebuah media sangatlah penting, dan bukan sekadar penghias dan pemanis di susunan redaksi. Peran mereka vital.

Ketika dulu menyampaikan gagasan ini di ke teman pengelola daerah, mereka jadi faham mengapa media itu sebenarnya harus dekat dan melekat dengan rakyat, audiensnya. Kalaupun mereka kekurangan tenaga dan kekurangan waktu untuk selalu menyerap aspirasi pemangku kepentingan, kehadiran Ombudsman sungguh membantu.

Media tidak bisa merasa mampu membaca apa yang diinginkan masyarakatnya, tahu apa berita yang dibutuhkan pembaca atau pemirsanya, dan oleh karena itu harus ada mekanisme check and balances dengan stakeholder. Sebab kalau tidak, untuk apa media ada? ***

Persoalannya sekarang, pertama Dewan Pers harus segera melakukan diseminasi ataupun dulu istilahnya sosialisasi, agar soal Ombudsman, dan berbagai kewajiban lain yang harus dilakukan perusahaan pers agar dapat diverifikasi.

Kedua, tentu saja memberikan batasan, apa dan bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Sebab tidak dapat diingkari, keberadaan Ombudsman di suatu media berarti biaya, walau mungkin tidak besar. Harus ada petunjuk pelaksana, berapa minimal jumlah Ombudsman, bisa dikaitkan dengan skala medianya, satu, tiga, lima? Lalu, ketentuan, siapa saja yang boleh atau tidak boleh, perlu ada batasan misalnya tidak boleh mereka yang ada “bau-bau” politiknya.

Yang juga penting diatur agar efektif, tidak boleh seorang Ombudsman merangkap jabatan yang sama di media lain atau bahkan di satu grup. Agar dia dapat fokus menjalankan peranannya, sebab mencatat atau mengevaluasi belasan berita perhari, ratusan berita per bulan, bukan hal yang mudah. Ini semestinya kegiatan pribadi, tidak bisa diwakilkan pada asisten atau staf, karena membaca berita adalah peristiwa “mengalami” dan “merasakan”. Ada ikatan emosional.

Ketiga, agar ditekankan bahwa tidak boleh rangkap kedudukan Ombudsman dan Kuasa Hukum karena fungsinya berbeda dan juga tekanan pada pekerjaan yang harus dilakukan. Yang satu bersifat ke dalam, internal pengelola media, sedangkan kedua untuk ke luar, berhadapan dengan masyarakat yang tidak puas atau pemberitaan. Atau kalau kasusnya berlanjut, kuasa hukum media akan menyiapkan argumentasi berbekal UU 40/1999 untuk menghadapi pengacara dari pengadu atau penggugat yang ingin menjadikannya kasus pidana dan perdata.

Hal ini memang agak berbeda dengan di luar sana. Di The New York Times, misalnya, kuasa hukum media malah sering menjadi konsultan atas berita yang hendak diturunkan. Dalam bukunya The Truth in Our Times, David E. McGraw, menuliskan bagaimana dia kerap ditanya editor ataupun wartawan, tentang risiko somasi atau pidana berita yang diperkirakan “menyerempet bahaya”. Lalu dia memberi saran dan jalan keluar, untuk menghindari risiko.

Related Articles

Leave a Reply

Back to top button