Hari Perempuan Internasional, Flip Jawab Tantangan Wujudkan Lingkungan Kerja DEI
JAKARTA – Flip, perusahaan teknologi keuangan terkemuka sebagai platform pembayaran konsumen menggelar diskusi daring Flip Virtual Talk bertajuk “Pemimpin Perempuan di Industri Teknologi: Membangun Keragaman, Kesetaraan, dan Inklusi di Lingkungan Kerja” pada Selasa (8/3/2022).
Diskusi dalam rangka Hari Perempuan Internasional ini menghadirkan Chief Operating Officer (COO) Flip, Gita Prihanto; dan Co-Founder & CEO Tentang Anak, Mesty Ariotedjo serta dipandu Nelly Mathias, seorang profesional di bidang pengembangan talenta.
Dalam konteks lingkungan kerja, Gita percaya pentingnya komitmen para pemimpin perusahaan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memasukkan nilai-nilai keragaman, kesetaraan, dan inklusi atau populer disingkat DEI (Diversity, Equity, Inclusion).
“Unconscious bias masih terjadi, terkadang tanpa disadari. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam memperbaiki bias implisit, tidak hanya dari sisi rekrutmen, tetapi juga dalam mengukur kesetaraan dan menciptakan lingkungan beragam yang bermanfaat bagi suasana kerja yang nyaman dan produktif,” ujar Gita.
“Ajakan diskusi yang inklusif dan usaha kolektif untuk menyebarkan kesadaran dan pengetahuan mengenai DEI secara aktif masih sangat diperlukan. Akan lebih baik lagi, apabila ada cara pengukuran yang distandardisasi, supaya setiap perusahaan mengerti bagaimana mengukur hal ini sebagai langkah awal, seperti misalnya mengukur pay-parity dan ratio promosi antar gender,” imbuhnya. Menurut Gita ini penting karena menciptakan lingkungan kerja yang beragam dan setara tidak hanya datang dari perempuan saja.
Dalam mewujudkan fairness di lingkungan kerja, prinsip diversity (keragaman), equity (kesetaraan), dan inclusion (inklusi) menjadi sumber utama. Flip mencoba mengimplementasikan budaya ini secara komprehensif.
“Flip memberi banyak dukungan dan fleksibilitas kepada pekerja perempuan. Pelaksanaan cuti haid dan pemberlakuan cuti melahirkan selama 4,5 bulan adalah salah satu contoh nyata. Selain itu, yang paling penting adalah menyediakan saluran komunikasi sehingga tidak ada satu pihak atau kelompok pun yang merasa dipinggirkan atau tidak mendapat kesempatan bersuara di perusahaan ini,” ucap Gita.
Sementara itu, Mesty mengakui masih banyak perempuan diperlakukan tidak adil dalam pekerjaan hanya karena jenis kelamin mereka. Walau Mesty belum pernah mengalami diskriminasi di lingkungan kerja secara langsung, namun ia sering menghadapi bias karena penampilannya yang dianggap terlalu mencolok seperti ‘anak gaul’ sehingga ia dianggap tidak mampu berprestasi. Hal itu yang dialaminya ketika duduk di bangku sekolah dan kuliah, mengalami stereotyping terhadap penampilannya.
“Karena penampilan seperti itu, saya dianggap bukan orang pintar atau cerdas,” kenang Mesty sambil tertawa. Karena itu, ia mengingatkan pentingnya orang tua mengajarkan wawasan gender kepada anak-anak sesuai dengan tahap tumbuh kembang mereka.
“Anak-anak belajar bagaimana menghormati keragaman dan kesetaraan dengan melihat orang tua sebagai role model dari perilaku keseharian mereka,” tambah Mesty.
Flip didirikan oleh alumni Universitas Indonesia, yakni Rafi Putra Arriyan, Luqman Sungkar, dan Ginanjar Ibnu Solikhin, yang mulai membangun perusahaan ini sambil kuliah pada 2015. Pada akhir 2021, perusahaan rintisan ini memperoleh pendanaan Seri B senilai USD 48 juta yang dipimpin oleh Sequoia Capital India, Insight Partners, dan Insignia Ventures Partners.
Flip mencoba mengimplementasikan nilai fairness melalui penerapan DEI di lingkungan kerja. Dari sisi representasi karyawan, saat ini komposisi karyawan perempuan di Flip sebesar 48% dan karyawan laki-laki sebesar 52%. Namun, masih terdapat tugas yang perlu dilakukan untuk mencapai kesetaraan komposisi di semua level. Flip juga berupaya menjabarkan nilai DEI dalam membuat kebijakan bagi seluruh karyawan, termasuk di antaranya untuk memenuhi hak-hak karyawan perempuan.
Kampanye #BreakTheBias mengajak seluruh masyarakat di dunia untuk berupaya memiliki kesadaran terhadap bias yang selama ini menempel pada perempuan dan berupaya mematahkannya. Kampanye ini diharapkan dapat menjadi ajakan positif baik bagi laki-laki maupun perempuan agar mampu bersikap dengan adil dan menghargai setiap perbedaan yang ada sehingga tercipta dunia yang inklusif.|Ilham