Jakarta – Rencana Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak mengakses data nasabah perbankan sudah direncanakan sejak 2002 silam. Namun, baru di tahun ini rencana tersebut direalisasikan lewat Peraturan Pengganti Perundang-undangan (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang keterbukaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
“Dari 2002 sampai selarang sudah 15 tahun lalu dan baru terlaksana sekarang. Artinya, di dunia manapun namanya keterbukaan data dimulai sejak lama,” kata Ken di Puang Oca Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Minggu (23/7/2017).
Keikutsertaan Indonesia dalam keterbukaan informasi tahun ini juga didorong dengan langkah yang sudah dilakukan oleh negara lain, khususnya negara-negara anggota G20.
“Pasca 2012-2013 oleh hanya Amerika Serikat saja dengan negara lain. OECD ikuti Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) ikut sesuai keterbukaan data 2014. Nah semenjak itu kita semuanya negara di dunia (ikut), kalau enggak ada pajak enggak akan ikut,” tutur Ken.
Diterbitkannya Perppu Nomor 1 2017 beberapa waktu lalu, kata Ken, dilakukan sementara sambil merancang undang-undang sebagai payung hukum yang lebih kuat. Selain Perppu Nomor 1 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menerbitkan aturan pelaksananya adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017).
Melalui PMK Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Ditetapkan pula batas saldo yang awalnya Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar paling sedikit dalam satu periode.
“Keterbukaan ini dibutuhkan oleh karena primernya adalah Perppu ini karena keadaan mendesak,” kata Ken.
Jika Indonesia tidak ikut dalam keterbukaan rekening perbankan akan dikucilkan dari dunia internasional, karena dianggap melindungi wajib pajak yang tidak patuh.
“Kalau enggak ikuti itu Indonesia tidak dianggap negara yang mempunyai keterbukaan data. Dianggap melindungi tax efficiency dan tax avoidance,” ujar Ken. (mkj/mkj)